BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Penjelasan mengenai makna kehidupan dan
bagaimana seharusnya kita menjalaninya merupakan masalah yang klasik, yang
hingga sekarang susah untuk ditetapkan filsafat mana yang paling benar yang
seharusnya kita anut. Para filsuf tersebut menggunakan sudut pandang yang
berbeda sehingga menghasilkan filsafat yang berbeda pula. Dari beberapa banyak
aliran filsafat, kami hanya membahas aliran filsafat hedonisme, eudemonisme,
utilitarisme dan deontologi. Antara aliran atau paham yang satu dan yang
lainnya ada yang saling bertentangan dan ada pula yang memiliki konsep dasar
sama. Akan tetapi meskipun bertentangan, bukanlah untuk saling dipertentangkan.
Justru dengan banyaknya aliran atau paham yang sudah diperkenalkan oleh
tokoh-tokoh filsafat, kita dapat memilih cara yang pas dengan persoalan yang
sedang kita hadapi.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas dapat dirumuskan beberapa
masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana
pandangan hedonisme sebagai teori etika?
2. Bagaimana
pandangan eudemonisme Aristoteles?
3. Bagaimana
pandangan utilitarisme?
4. Bagaimana
pandangan Immanuel Kant dalam teorinya yang disebut deontologi?
5. Bagaimana
koreksian yang diusulkan W.D. Ross terhadap Deontologi Kant?
C.
Tujuan
Berdasarkan latar belakang masalah di atas dapat dirumuskan beberapa
tujuan sebagai berikut:
1. Untuk
mengetahui bagaimana pandangan hedonisme sebagai teori etika.
2. Untuk
mengetahui bagaimana pandangan eudemonisme Aristoteles.
3. Untuk
mengetahui bagaimana pandangan utilitarisme.
4. Untuk
mengetahui bagaimana pandangan Immanuel Kant dalam teorinya yang disebut
deontologi.
5. Untuk
mengetahui bagaimana koreksian yang diusulkan W.D. Ross terhadap Deontologi
Kant.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Hedonisme
Atas pertanyaan “apa yang menjadi hal yang
terbaik bagi manusia”, para hedonis menjawab: kesenangan (hêdonê dalam bahasa
Yunani). Adalah baik apa yang memuaskan keinginan kita, apa yang meningkatkan
kuantitas kesenangan atau kenikmatan dalam diri kita.
Dalam filsafat Yunani hedonisme sudah ditemukan
pada Aristippos dari Kyrene (sekitar 433-355 s.M.), seorang murid Sokrates.
Sokrates telah bertanya tentang tujuan terakhir bagi kehidupan manusia atau apa
yang sungguh-sungguh baik bagi manusia. Aristippos menjawab: yang baik bagi
manusia adalah kesenangan. Bagi Aristippos kesenangan itu bersifat badani
belaka, karena hakikatnya tidak lain daripada gerak dalam badan. Mengenai gerak
itu ia membedakan tiga kemungkinan: gerak yang kasar dan itulah
ketidaksenangan, misalnya, rasa sakit; gerak yang halus dan itulah kesenangan;
sedangkan tiadanya gerak merupakan suatu keadaan netral, misalnya, jika kita
tidur. Aristippos menekankan lagi bahwa kesenangan harus dimengerti sebagai
kesenangan aktual, bukan kesenangan dari masa lampau dan kesenangan di masa mendatang.
Dapat disimpulkan dari pandangan Aristippos bahwa ia mengerti kesenangan
sebagai badani, aktual dan individual. Aristippos pun mengakui perlunya
pengendalian diri, sebagaimana sudah diajarkan oleh gurunya, Sokrates.
Filsuf Yunani lain yang melanjutkan
hedonisme adalah Epikuros (341-270 s.M.), yang memimpin sebuah sekolah filsafat
di Athena. Epikuros pun melihat kesenangan (hêdonê) sebagai tujuan kehidupan
manusia. Epikuros mengakui adanya kesenangan yang melebihi tahap badani. Dalam
sepucuk surat ia menulis: “Bila kami mempertahankan bahwa kesenangan adalah
tujuannya, kami tidak maksudkan kesenangan inderawi, tapi kebebasan dari nyeri
dalam tubuh kita dan kebebasan dari keresahan dalam jiwa” (Surat kepada
Menoikeus). Menurut Epikuros kita harus memandang kehidupan sebagai keseluruhan
termasuk juga masa lampau dan masa depan.
Biarpun pada dasarnya setiap kesenangan
bisa dinilai baik, namun itu tidak berarti bahwa setiap kesenangan harus
dimanfaatkan juga. Dalam hal ini pentinglah pembedaan yang diajukan Epikuros
antara tiga macam keinginan: keinginan alamiah yang perlu (seperti makanan),
keinginan alamiah yang tidak perlu (seperti makanan yang enak), dan keinginan
yang sia-sia (seperti kekayaan).
Manusia akan mencapai ataraxia, ketenangan
jiwa atau keadaan jiwa seimbang yang tidak membiarkan diri terganggu oleh
hal-hal yang lain. Ataraxia begitu penting bagi Epikuros, sehingga ia
menyebutnya juga tujuan kehidupan manusia (di samping kesenangan). Ataraxia
berperanan bagi jiwa, seperti kesehatan bagi badan. Orang bijaksana yang
memperoleh ketenangan jiwa itu akan berhasil mengusir segala macam ketakutan
(untuk kematian, dewa-dewa dan suratan nasib), menjauhkan diri dari kehidupan
politik dan menikmati pergaulan dengan sahabat-sahabat.
Tinjauan Kritis
a. Dalam hedonisme terkandung kebenaran yang mendalam: manusia
menurut kodratnya mencari kesenangan dan
berupaya menghindari ketidaksenangan. Sigmund Freud memperlihatkan bahwa
kecenderungan manusia itu bahkan terdapat pada taraf tak sadar. Tidak bisa disangkal,
keinginan akan kesenangan merupakan suatu dorongan yang sangat mendasar dalam
hidup manusia. Tapi disini perlu dikemukakan sebuah catatan kritis yang
pertama. Apakah manusia selalu mencari kesenangan? Apakah manusia menurut
kodratnya mencari kesenangan dalam arti bahwa ia tidak lagi manusia (tapi
malaikat atau apa...), jika ia tidak mencari kesenangan? Apakah tidak mungkin
juga manusia yang membaktikan seluruh hidupnya demi kebaikan orang lain, dengan
niat murni dan tanpa pamrih? Tentu saja para hedonis selalu bisa mengatakan bahwa mencari kesenangan
adalah motivasi terakhir. Para hedonis bisa menegaskan bahwa membantu orang
lain selalu juga menyenangkan, karena “lebih baik memberi daripada menerima”.
b. Kritik lebih berat lagi adalah bahwa dalam argumentasi hedonisme
terdapat loncatan yang tidak dipertanggungjawabkan. Dari anggapan bahwa kodrat
manusia adalah mencari kesenangan (yang menurut hemat kami dapat dipertanyakan
lagi), ia sampai pada menyetarafkan kesenangan dengan moralitas yang baik. Secara
logis hedonisme harus membatasi diri pada suatu etika deskriptif saja (pada
kenyataannya kebanyakan manusia membiarkan tingkah lakunya dituntun oleh
kesenangan), dan tidak boleh merumuskan suatu etika normatif (yang baik secara
moral adalah mencari kesenangan). ada yang memperoleh kesenangan dengan
menyiksa atau malah membunuh orang lain, yaitu mereka yang disebut kaum sadis.
Para hedonis tidak bisa menyingkirkan kenyataan itu dengan menandaskan: tapi
perbuatan seperti itu akan dihukum dan karena itu akan disertai
ketidaksenangan. Sebab, banyak perbuatan jahat tidak diketahui dan akibatnya
tidak dihukum. Karena itu kesenangan saja tidak cukup untuk menjamin sifat etis
suatu perbuatan.
c. Para hedonis mempunyai konsepsi yang salah tentang kesenangan.
Mereka berpikir bahwa sesuatu adalah baik, karena disenangi. Sebenarnya
kesenangan adalah pantulan subyektif dari sesuatu yang obyektif. Sesuatu tidak
menjadi baik karena disenangi, tapi sebaliknya kita merasa senang karena
memperoleh atau memiliki sesuatu yang baik.
d. Hedonisme mengandung suatu egoisme, karena hanya memperhatikan
kepentingan dirinya saja. Yang dimaksudkan dengan egoisme disini adalah egoisme
etis atau egoisme yang mengatakan bahwa saya tidak mempunyai kewajiban moral
membuat sesuatu yang lain daripada yang terbaik bagi diri saya sendiri. Egoisme
etis mempunyai prinsip: saya duluan, orang lain belakangan saja. Egoisme etis
harus ditolak karena bertentangan dengan prinsip persamaan: semua manusia harus
diperlakukan dengan cara sama, selama tidak ada alasan untuk perlakuan yang
berbeda.
Penutup
Filsuf Inggris, John Locke (1632-1704),
menandaskan: “kita sebut baik apa yang menyebabkan atau meningkatkan
kesenangan; sebaliknya, kita namakan jahat apa yang dapat mengakibatkan
ketidaksenangan apa saja atau mengurangi kesenangan apa saja dalam diri kita”.
Tapi dalam bentuk modernnya sifat individualistis dan egoistis dari hedonisme
Yunani kuno telah ditinggalkan. Hedonisme yang menjiwai pemikiran modern itu
mengakui dimensi sosial sebagai faktor yang tidak bisa disingkirkan.
Dalam dunia modern sekarang ini rupanya
hedonisme masih hadir dalam bentuk yang lain. Hedonisme merupakan “etika
implisit” yang—mungkin tanpa disadari—dianut oleh banyak individu dewasa ini.
B.
Eudemonisme
Eudemonisme merupakan salah satu filsafat
moral selain hedonisme dan yang lainnya. Eudemonisme berasal dari kata “
Eudaimonia” yang berarti kebahagiaan. Pandangan ini berasal dari filsuf Yunani
besar, Aristoteles (384-322 s.M). Dalam bukunya, Ethika Nikomakheia, ia mulai
dengan menegaskan bahwa dalam setiap kegiatannya manusia mengejar suatu tujuan.
Bisa dikatakan juga, dalam setiap perbuatan kita ingin mencapai sesuatu yang
baik bagi kita. Sering kali mencari suatu tujuan untuk mencapai suatu tujuan
lain lagi. Misalnya, kita minum obat untuk bisa tidur dan kita tidur untuk
dapat memulihkan kesehatan. Menurut Aristoteles, semua orang akan menyetujui bahwa
tujuan tertinggi dalam terminologi modern kita bisa mengatakan: makna terakhir
hidup manusia adalah kebahagiaan (eudaimonia).
Menurut Aristoteles, seseorang mencapai
tujuan terakhir dengan menjalankan fungsinya dengan baik. Tujuan terakhir
pemain suling adalah main dengan baik. Tujuan terakhir tukang sepatu adalah
membikin sepatu yang baik. Nah, jika manusia menjalankan fungsinya sebagai manusia
dengan baik, ia juga mencapai tujuan terakhirnya atau kebahagiaan. Keunggulan
dan kekhasan manusia ada pada akalnya
(rasio). Karena itu, untuk mencapai kebahagiaannya, seseorang harus menjalankan
fungsi-fungsi rasio dengan melakukan kegiatan rasional. Kegiatan-kegiatan
rasional itu disertai keutamaaan. Bagi Aristoteles ada dua macam keutamaan :
keutamaan intelektual dan keutamaan moral. Keutamaan intelektual menyempurnakan
langsung rasio itu sendiri. Dengan keutamaan-keutamaan moral ini dibahas Aristoteles
dengan panjang lebar. Keutamaan seperti keberanian dan kemurahan hati merupakan
pilihan yang dilaksanakan oleh rasio. Dalam hal ini rasio menentukan jalan
tengah antara dua ekstrem yang berlawanan. Atau dengan kata lain, keutamaan
adalah keseimbangan antara “kurang “ dan “terlalu banyak”. Misalnya, keberanian
adalah keutamaan yang memilih jalan tengah antara sikap gegabah dan sikap
pengecut; kemurahan hati adalah keutamaan yang mencari jalan tengah antara
kekikiran dan pemborosan. Keutamaan yang menentukan jalan tengah itu oleh
Aristoteles di sebut phronesis (kebijaksanaan praktis). Phronesis menentukan
apa yang bisa dianggap sebagai keutamaan dalam suatu situasi konkret. Karena
itu keutamaan ini merupakan inti seluruh kehidupan moral.
Sekali lagi perlu ditekankan bahwa
tidaklah cukup kita kebetulan atau satu kali saja mengadakan pilihan rasional
yang tepat dalam perbuatan kita sehari-hari. Baru ada keutamaan jika kita bisa
menentukan jalan tengah di antara ekstrem-ekstrem itu dengan suatu sikap tetap.
Menurut Aristoteles, manusia adalah baik dalam arti moral, jika selalu
mengadakan pilihan-pilihan rasional yang tepat dalam perbuatan-perbuatan
moralnya dan mencapai keunggulan dalam penalaran intelektual. Orang seperti itu
adalah bahagia. Kebahagiaan itu akan disertai kesenangan juga, walaupun kesenangan
tidak merupakan inti yang sebenarnya dari kebahagiaan.
Tinjauan kritis
a. Memang
benar, pemikiran tentang keutamaan adalah bagian paling menarik dalam etikanya.
Tapi ajarannya mempunyai kelemahan juga. Salah satu kelemahan adalah bahwa
daftar keutamaan yang disebut olehnya tidak merupakan hasil pemikiran
Aristoteles saja tapi mencerminkan pandangan etis dari masyarakat Yunani pada
waktu itu dan lebih khusus lagi mencerminkan golongan atas dalam masyarakat Athena
tempat Aristoteles hidup. Dan ternyata tidak bisa diharapkan juga ia akan
menyajikan daftar keutamaan yang berlaku selalu dan dimana-mana. Pasti ada
sejumlah keutamaan yang berlaku agak umum. Tapi di samping itu setiap
kebudayaan dan setiap periode sejarah akan memiliki keutamaan-keutamaan
sendiri, yang belum tentu sama dalam kebudayaan atau periode sejarah lain.
Kerendahan hati, misalnya, merupakan keutamaan yang berasal dari tradisi lain
dan belum bisa diharapkan dalam pembahasan Aristoteles. Suka bekerja keras
merupakan contoh lain tentang keutamaan yang tidak mungkin ditemukan pada
Aristoteles. Malah ia memandang rendah pekerjaan fisik, sesuai dengan pandangan
Yunani pada waktu itu.
b. Keberatan
lain menyangkut pemikiran Aristoteles tentang keutamaan sebagai jalan tengah
antara dua ekstrem. Aristoteles menjelaskan hal itu dengan sebuah analisis
bagus dan tajam tentang keberanian, misalnya. Tapi soalnya adalah apakah
keutamaan selalu merupakan jalan tengah antara “kurang’ dan “terlalu banyak”.
Aristoteles sendiri mengalami kesulitan dengan keutamaan seperti pengendalian
diri. Perbuatan seperti makan terlalu banyak, jelas bertentangan dengan
keutamaan pengendalian diri. Tapi jika orang makan kurang daripada apa yang
dianggap perlu , apakah perbuatannya melanggar keutamaan itu juga ? rupanya
sulit mengatakan demikian. Perbuatan seperti berpuasa justru dianggap suatu
perbuatan terpuji dan pelaksanaan keutamaan pengendalian diri. Aristoteles
sendiri mengakui bahwa praktis tidak ada manusia yang tak acuh terhadap
makanan, sehingga segi “kurang” di sini sulit ditunjukkan.
c. Tadi
sudah dijelaskan bahwa pemikiran Aristoteles diwarnai suasana eliter karena
terutama mencerminkan golongan atas dalam mesyarakat Yunani waktu itu. Bisa
ditambah lagi bahwa pada Aristoteles kita sama sekali belum melihat paham hak
manusia, apalagi persamaan hak semua manusia. Malah ia membenarkan secara
rasional lembaga perbudakan, karena ia berpendapat bahwa beberapa manusia
menurut kodratnya adalah budak. Suatu pandangan menurut orang modern justru
tidak etis. Tapi keberatan ini tidak perlu terlalu ditekankan, karena kita
tidak bisa mengeritik seseorang karena dia anak dari zamannya. Kita tidak bisa
menghukum filsuf Yunani kuno ini, karena belum termasuk zaman modern.
d.
Etika Aristoteles dan khususnya ajarannya
tentang keutamaan tidak begitu berguna untuk memecahkan dilema-dilema moral
besar yang kita hadapi sekarang ini. Pemikirannya tidak membantu banyak dalam
mencari jalan keluar bagi masalah-masalah moral penting di zaman kita, seperti
misalnya risiko penggunaan tenaga nuklir, reproduksi artificial, percobaan
medis dengan embrio dan sebagainya. Disini kita membutuhkan pertimbangan–pertimbangan
yang dapat dipertanggungjawabkan. Pandangan Aristoteles tentang keutamaan lebih
cocok untuk menilai kadar moral seseorang berdasarkan perbuatan-perbuatannya,
termasuk juga hidup moralnya sebagai keseluruhan.
C.
Utilitarisme
1.
Utilitarisme
klasik
Aliran ini berasal dari tradisi pemikiran
moral di Unuted Kingdom dan kemudian berpengaruh keseluruh kawasan yang
berbahasa inggris. Filsuf Skotlandia, david Hume (1711-1776), sudah memberi
sumbangan penting ke arah perkembangan aliran ini, tapi utilitarisme menurut
lebih matang berasal dari filsuf inggris jeremy Bentham (1748-1832), dengan
bukunya introduction to the principles of morals and legislation (1789).
Ultilistarisme dimaksudnya sebagai dasar etis untuk memperbarui hkum inggris.
Khususnya hukum pidana. Jadi, ia tidak ingin menciptakan suatu teori moral
abstark, tetapi mempunyai maksud sangat konkrit. Ia nerpendapat bahwa tujuan
hukum adalah memajukan kepentingan warga negara bukan melaksanakan
perintah-perintah ilahi atau melindungi yang disebut hak-hak kodrati. Karna itu
ia beranggapan bahwa klasifikasi kejahatan, umpamanya dalam sistem hukum
inggris sudah ketinggalan zaman dan harus di ganti.
Betham mulai menekankan bahwa umat manusia
menurut kodratnya ditempatkan dibawah pemerintahan dua penguasa yang berdaulat
(ketidaksenagan dan kesenangan). Kebahagian tercapai, jika ia memiliki
kesenangan dan bebas dari kesusahan. Dalam hal ini betham sebenarnya
melanjutkan begitu saja hedonisme klasik.
Karena menurut kodratnya tingkah laku
manusia terarah pada kebahagian, maka suatu perbutan dapat dinilai baik atau
buruk, sejauh dapat meningkatkan atau mengurangi kebahagian sebanyak mungkin
orang. Dalam hal ini betham meninggalkan hedonisme individualistis dan egoistis
dengan menekankan bahwa kebahagian itu menyangkut seluruh umat manusia.
Menureut Betham, prinsip kegunaan itu harus diterapkan secara kuantitatif.
Karena kualitas kesenagan selalu sama, satu-satunya aspeknya yang bisa berbeda
adalah kulitasnya.
Ultilitarisme diperluas dan diperkukuh
lagi oleh filsufi inggris, Jhon Stuart Milln (1806-18730). Dalam bukunya ia
mengeritik pandangan Betham bahwa kesenangan dan kebahagian harus diukur secara
kuantitatif. Ia berpendapat bahwa kualitasnya perlu ditimbangkan juga, karena
ada kesengan yang lebih tinggi mutunya dan ada yang lebih rendah.
Pikran Mill yang kedua adalah bahwa
kebahagian yang menjadi norma etis adalah kebahagian semua orang terlibat dalam
suatu kejadian, bukan kebahagian satu orang saja.
Tinjauan kritis
Salah satu kekuatan utilitarisme adalah
bahwa mereka menggunakan sebuah prinsip jelas dan rasional. Akan tetapi,
utilitarisme juga mempunyai beberapa kelemahan yaitu:
a. Prinsip
kegunaan bahwa suatu perbuatan adalah baik jika menghasilkan kebahagiaan
terbesar untuk jumlah orang terbesar, tidak selamanya benar.
b. Kebahagiaan
lain lagi adalah bahwa prinsip kegunaan tidak memberi jaminan apa pun bahwa
kebahagiaan dibagi juga dengan adil.
2.
Utilitarisme
Aturan
Suatu percobaan yang menarik untuk
mengatasi kritikan berat yang dikemukakan terhadap ultilitarisme adalah
membedakan antara dua macam ultilitarisme. Ultilitarisme perbuatan dan
ultilitarisme aturan. Hal itu dikemukakan oleh filsuf inggris-amerika Stephen
Toulmin, menegaskan bahwa prinsip kegunaan tidak harus diterapkan atas salah
satu perbuatan, melainkan atas aturan-aturan moral yang mengatur
perbuatan-perbuatan kita.
Filsuf Richard B. Brandt melangkah lebih
jauh lagi dengan mengusulkan agar bukan aturan moral satu demi satu, melainkan
sistem aturan moral sebagai keseluruhan diuji dengan prinsip kegunaan.
Utilitarisme aturan ini merupakan sebuah
varian yang menarik dari utilitarisme. Perlu diakui bahwa dengan demikian kita
bisa lolos dari banyak kesulitan yang melekat pada utilitarisme perbuatan.
Utilitarisme aturan ini timbul jika
terjadi konflik antara dua aturan moral.
D.
Deontologi
Deontologi berasal dari bahasa Yunani deon yang berarti apa yang harus
dilakukan; kewajiban)
1.
Deontologi
Menurut I. Kant
Yang menciptakan system moral ini adalah
filsuf besar dari Jerman, Immanuel Kant (1724-1804). Menurut Kant, yang bisa
disebut baik dalam arti sesungguhnya hanyalah kehendak yang baik. Semua hal
lain disebut baik secara terbatas atau dengan syarat. Kesehatan, kekayaan, atau
intelegensi, misalnya, adalah baik jika digunakan dengan baik oleh kehendak
manusia. Tapi jika dipakai oleh kehendak yang jahat semua hal itu bisa menjadi
jelek sekali. Bahkan keutamaan-keutamaan bisa disalahgunakan oleh kehendak yang
jahat.
Menurut Kant kehendak menjadi baik, jika
bertindak karena kewajiban. Kalau perbuatan dilakukan dengan suatu maksud atau
motif lain, perbuatan itu tidak bisa disebut baik, betapapun luhur atau terpuji
motif itu. Misalnya, kalau perbuatan dilakukan karena kecenderungan atau watak,
perbuatan itu secara moral tidak baik. Mungkin sifat watak saya demikian, sehingga
saya selalu senang membantu orang lain. Bagi Kant, perbuatan-perbuatan yang
berasal dari kecenderungan macam itu tidak bisa disebut baik, tapi dari sudut
moral bersifat netral saja. Atau mungkin saya member derma kepada pengemis,
karena hati saya tergerak oleh keadaannya yang menyedihkan. Atau mungkin saya
mengembalikan buku yang saya pinjam dari perpustakaan,karena takut akan terkena
denda, bila terlambat dikembalikan. Semua perbuatan itu tidak patu disebut
baik. Perbuatan adalah baik jika hanya dilakukan karena wajib dilakukan. Jadi,
belum cukup jika suatu perbuatan sesuai dengan kewajiban. Seharusnya perbuatan
dilakukan berdasarkan kewajiban. Bertindak sesuai dengan kewajiban oleh Kant
disebut legalitas. Dengan legalitas kita memenuhi norma hukum. Misalnya, tidak
penting dengan motif apa saya membayar pajak, asal saja saya bayar jumlah uang
yang sesuai dengan kewajiban saya. Tetapi dengan itu saya belum memenuhi norma
moral. Saya baru baru memasuki taraf moralitas,
jika saya melakukan perbuatan semata-semata karena kewajiban. Kata Kant, suatu
perbuatan bersifat moral, jika dilakukan semata-mata “karena hormat untuk
hukumnmoral”. Dengan hukum moral dimaksudkannya kewajiban.
Terkenal juga pembedaan yang diajukan Kant
antara imperatif kategoris dan imperatif hipotetis. Kewajiban moral mengandung
suatu imperatif kategoris, artinya imperative (perintah) yang mewajibkan begitu
saja tanpa syarat. Sebaliknya, imperatif hipotetis selalu diikutsertakan sebuah
syarat. Bentuknya adalah: “kalau engkau ingin mencapai suatu tujuan, maka
engkau harus menghendaki juga sarana-sarana yang menuju ke tujuan tersebut”.
Jika kita ingin lulus untuk ujian misalnya kita harus belajar dengan tekun.
Tapi sarana iyu (belajar) hanya mewajibkan kita sejauh kita ingin mencapai
tujuan (lulus). Belum tentu kita semua mempunyai tujuab itu. Bisa saja, saya
hanya terdaftar sebagai mahasiswa untuk mengisi waktu, untuk dapat menikmati
berbagai fasilitas, atau untuk bisa ikut dalam pertandingan olah raga mahasiswa
sedunia, bukan untuk menyelesailan studi di suatu fakultas. Kalau saya tidak
mempunyai tujuan itu (lulus), saya juga tidak wajib menghendaki sarananya
(belajar). Di sini kewajibannya hanya hipotesis ( kalau…, maka), bertentangan
dengan imperatif kategoris yang mmengikat kita tanpa syarat apa pun. Bentuk
imperatif terakhir ini adalah: “Engkau harus begitu saja?” (Du sollst). Imperatif kategoris ini
menjiwai semua peraturan etis. Misalnya, janji harus ditepati (senang atau
tidak senang) barang yang dipinjam harus dikembalikan (juga bila pemiliknya
sudah lupa). Di bidang moral, tingkah laku manusia hanya dibimbing oleh norma
yang mewajibkan begtu saja, bukan oleh pertimbangan lain.
Langkah berikut dalam pemikiran moral Kant
ini adalah menyimpulkan otonomi kehendak. Kalau hukum moral harus dipahami
sebagai imperatif kategoris, maka dalam bartindak secara moral kehendak harus
otonom dan bukan heteronom. Kehendak bersifat otonom bila menentukan dirinya
sendiri, sedangkan kehendak heteronom membiarkan diri ditentukan oleh faktor
dari luar dirinya seperti kecenderungan atau emosi. Menurut Kant, kehendak itu
otonom dengan memberikan hukum moral kepada dirinya sendiri.
Tinjauan kritis
Kita memang sering merasa terikat dengan
kewajiban dalam prilaku moral kita, sehingga tidak bisa disangkal bahwa
kewajiban merupakan aspek penting dalam hidup moral kita. Tapi ada juga kritik
untuk teorinya yaitu:
a. Sistem
moral Kant merupakan suatu etika yang suram dan kaku.
b. Sulit
juga untuk diterima bahwa konsekuensi bisa diabaikan saja dalam menilai
moralitas perbuatan kita.
2.
Pandangan
W.D. Ross
Ross mengatakan bahwa kewajiban untuk
mengatakan kebenaran merupakan kewajiban prima
facie (pada pandangan pertama) yang berlaku sampai ada kewajiban yang lebih
panting. Ross menyusun sebuah daftar kewajiban yang semuanya merupakan
kewajiban prima facie:
1) Kewajiban
kesetiaan: kita harus menepati janji yang diadakan dengan bebas.
2) Kewajiban
ganti rugi: kita harus melunasi utang moril dan materiil.
3) Kewajiban
terima kasih: kita harus berterima kasih kepada orang yang berbuat baik
terhadap kita.
4) Kewajiban
keadilan: kita harus membagikan hal-hal yang menyenangkan sesuai dengan jasa
orang-orang bersangkutan.
5) Kewajiban
berbuat baik: kita harus membantu orang lain yang membutuhkan kita.
6) Kewajiban
mengembangkan dirinya: kita harus mengembangkan dan meningkatkan bakat kita di
bidang keutamaan, inteligensi, dan sebagainya.
7) Kewajiban
untuk tidak merugikan: kita tidak boleh melakukan sesuatu yang merugikan orang
lain (satu-satunya kewajiban yang dirumuskan Ross dalam bentuk negatif)
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Menurut kaum hedonis yang baik adalah:
apa yang memuaskan keinginan kita, yang meningkatkan kuantitas kesenangan dan
kenikmatan kita. Menurut Aristoteles, dalam tiap aktivitasnya, manusia mengejar
tujuan. Tujuan akhir, tertinggi dari manusia dalah kebahagiaan (eudaimonia).
Menurut Jeremy Bentham (1748-1832 M) manusia berada pada dua “penguasa”: ketidaksenangan
dan kesenangan. Manusia cenderung menjauhi ketidaksenangan dan mencari
kesenangan. Menurut Immanuel Kant (1724-1804), filosof besar etika deontologis.
Menurutnya, yang baik adalah kehendak baik itu sendiri. suatu kehendak menjadi
baik sebab bertindak karena kewajiban.
Setelah mempelajari beberapa sistem etika
yang penting dalam sejarah filsafat, dapat disimpulkan bahwa tidak ada satu sistem
pun yang paling baik. Di samping segi-segi yang menarik, setiap sistem ada
kelemahan juga.
DAFTAR PUSTAKA
K. Bertens. 2001. Etika.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
0 komentar:
Posting Komentar