BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Di era perkembangan zaman yang ipteknya semakin maju pesat ini, kita
harus tetap mengedepankan hal-hal mengenai pengembangan etika, moral, dan
akhlak. Yang mana kita harus dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk,
mana yang benar dan mana yang salah. Sebab semua itu dapat mempengaruhi
bagaimana pribadi kita dan bagaimana cara pandang kita terhadap zaman yang
telah didominasi oleh perkembangan iptek yang semakin merajalela tersebut.
Penalaran etika, moral, dan akhlak tersebut semata-mata diwujudkan
sebaik mungkin bukan hanya untuk kebaikan diri sendiri, namun juga dapat
menjadi tolak ukur kita dalam menanggapi setiap masalah-masalah yang muncul di
lingkungan kita sesuai dengan karakter pola pikir yang sehat, logis, dan
analistis. Supaya kita dapat menempatkan diri kita sesuai dengan situasi dan
kondisi sekitar. Sehingga kita nanti diharapkan menjadi insan
(kholifah/tauladan) yang baik secara etika, moral, dan akhlak bagi seluruh
makhluk di alam semesta ini.
B.
Rumusan
Masalah
- Apa yang dimaksud dengan etika kewajiban dan etika keutamaan?
- Mengapa etika kewajiban dan etika keutamaan saling membutuhkan satu sama lain?
- Apa itu keutamaan?
- Jelaskan unsur- unsur utama yang terkandung dalam konsep “keutamaan”?
- Apa yang dimaksud dengan ethos?
- Bagaimana tiga kategori perbuatan moral yang biasanya dibedakan dalam teori- teori etika?
- Apa yang dimaksud “orang kudus” dan “pahlawan”, kalau dipandang dari sudut etis belaka?
C.
Tujuan
Masalah
- Untuk mengetahui yang dimaksud dengan etika kewajiban dan etika keutamaan.
- Untuk mengetahui mengapa etika kewajiban dan etika keutamaan saling membutuhkan satu sama lain.
- Untuk mengetahui apa itu keutamaan.
- Untuk mengetahui unsur- unsur utama yang terkandung dalam konsep “keutamaan”.
- Untuk mengetahui yang dimaksud dengan ethos.
- Untuk mengetahui tiga kategori perbuatan moral yang biasanya dibedakan dalam teori- teori etika.
- Untuk mengetahui yang dimaksud “orang kudus” dan “pahlawan”, kalau dipandang dari sudut etis belaka.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Etika
Kewajiban Dan Etika Keutamaan
Dalam
penilaian etis pada taraf popular dapat dibedakan dua macam pendekatan. Kita
biasa terutama
memandang perbuatan dan mengatakan bahwa perbuatan itu baik atau buruk, adil
atau tidak adil, jujur atau tidak jujur. Disini kita seolah- olah “mengukur” ,
suatau perbuatan dengan norma atau prinsip moral. Jika perbuatan itu sesuai
dengan prinsip bersangkutan, kita menyebutkan baik, adil, jujur dan sebagainya;
jika tidak sesuai, kita menyebutnya buruk, tidak adil, tidak jujur dan
sebagainya.
Ada
cara penilaian etis lain yang tidak begitu memandang perbuatan, melainkan justru
keadaan pelaku itu sendiri. Kita menyatakan bahwa seseorang adalah orang baik,
adil, jujur, dan sebagainya atau sebaliknya, seperti seseorang tersebut adalah
orang jahat, tidak adil, tidak jujur, dan sebagainya. Misalnya kita menyatakan
bahwa orang tertenty tidak dapat dipercaya karna ia tidak jujur. Disini kita menunjuk bukan kepada prinsip atau
norma, melainkan sifat watak atau akhlak yang dimiliki orang tersebut atau
justru tidak dimilikinya. Kita berbicara tentang bobot moral (baik buruknya)
orang iu sendiri dan bukan tentang bobot moral salah satu perbuatannya.
Dua
pendekatan moral yang sudah dapat ditemukan dalam hidup sehari- hari dalam
tradisi pemikiran filsafat moral tampak sebagai dua tipe teori etika yang
berbeda:
1) Etika
kewajiban
Etika
kewajiban mempelajari prinsip- prinsip dan aturan- aturan moral yang berlaku
untuk perbuatan kita. Etika ini menumjukkan norma- norma dan prinsip- prinsip
mana yang perlu diterapkan dalam hidup moral kita. Jika terjadi konflik antara
dua prinsip moral yang tidak dapat dipenuhi sekaligus, etika ini mencoba
menentukan yang mana harus diberi prioritas. Pendekatannya, etika kewajiban
menilai benar salahnya kelakuan kita dengn berpegang pada norma dan prinsip-
prinsip moral saja.
2) Etika
keutamaan
Etika
keutamaan memiliki orientasi yang lain. Etika ini tidak begitu menyoroti
perbuatan satu demi satu, apakah sesuai atau tidak dengan norma moral, tetapi lebih memfokuskan manusia
itu sendiri. Etika ini mempelajari keutamaan (virtue), artinya sifat watak yang
dimiliki manusia. Etika keutamaan tidak menyelidiki apakah perbuatan kita baik
atau buruk, melainkan apakah kita sendiri orang baik atau buruk.
Etika
keutamaan mengarahkan fokus perhatiannya pada being manusia, sedangkan etika kewajiban menekankan doing manusia. Ketika keutamaan ingin
menjawab pertanyaan “saya harus menjadi orang yang bagaimana?”, sedangkan bagi
etika kewajiban pertanyaan pokoknya adalah “saya harus melakuakan apa?”.Bagaimana
sebaikanya hubungan antara etika kewajiban dan etika keutamaan? menurut hemat
kami, disini tidak ada dilemma. Kita tidak menghadapi pilihan antara etika
kewajiban dan etiaka keutamaan, moralitas selalu berkaiatan dengan prinsip serta
aturan dan serentak juga dengan kualitas manusia itu sendiri, dengan sifat-
sifat wataknya. Menurut pandangan Frankena bahwa etika kewajiban dan etika
keutamaan melengkapi satu sama lain. Etika kewajiban membutuhkan etika
keutamaan dan sebaliknya. Di bidang moral, usaha untuk mengikuti prinsip dan
atauran tertentu kurang efesien, kalau tidak di ikut sertai suatau sikap tetap
manusia untuk hidup menurut prinsip adan atauran moral itu.
Masih
ada alasan lain mengapa etika kewajiban membutuhkan etika keutamaan. jika kita
mentaati prinsip dan norma moral kita belum tentu menjadi manusia yang sungguh-
sungguh baik secara moral. Berpegang pada norma moral memang merupakan syarat
bagi prilaku yang baik, akan tetapi membatasi pada norma saja belum cukup untuk
dapat disebut seorang yang baik dalam arti sepenuhnya. Dengan kata lain
seseorang perlu memiliki keutamaan, misalnya pohon yang baik dengna sendirinya
akan menghasikan buah yang baik. Etika keutamaan langsung bertujuan membuat
manusia menjadi pohon yang baik, sehingga tidak bias lain perbuatannya akan
baik juga.
Disisi
lain etika keutamaan membutuhkan juga etika kewajiban. Etika keutamaan saja
adalah buta jika tidak dipimpin oleh norma dan prinsip. Benci menjadi salah
satu sifat watak sehingga mudah membawa orang ke perbuatan seperti membunuh
atau merugikan orang lain. Keadilan sebagai sifat watak membawa kita ke suatau
keadaan dimana kita memperlakuakan orang lain secara adil umpamanya membayar
gaji yang pantas kepada karyawan. Bagaimana kita tahu yang satu adalah buruk
dan yang lainnya adalh baik? Tentu karna kita berpegang pada norma. Kita dapat
membedakan dua sifat watak karena kita menerima sebagai norma moral “jangan
membunuh orang yang tidak bersalah” dan ”kita harus memperlakuakan orang lain
dengan adil”. Jadi prinsip moral dan dan keutamaan moral tidak terlepas satu
sama lain.
B. Keutamaan
dan Watak Moral
Keutamaan
adalah disposisi watak yang telah di peroleh seseorang dan memungkinkan dia
untuk bertingkah laku baik secara moral. Kemurahan hati, misalnya, merupakan
suatu keutamaan yang membuat seseorang membagi harta bendanya dengan orang lain
yang membutuhkan. Mari kita memandang lebih rinci beberapa unsure dalam
penjelasan tersebut.
a. Keutamaan
adalah suatu disposisi, artinya suatu kecenderungan tetap. Itu tidak berarti
bahwa keutamaan tidak bias hilang, tapi hal itu tidak mudah terjadi. Keutamaan
adalah sifat watak yang ditandai stabilitas. Keutamaan adalah sifat baik yang
mendarah daging pada seseorang, tapi bukan sembarang sifat baik adalah
keutamaan juga. Jadi keutamaan mempunyai hubungan yang eksklusif dengan moral
dan keutamaan sama saja dengan keutamaan moral.
b. Keutamaan
berkaitan dengan kehendak. Keutamaan adalah disposisi yang membuat kehendak
tetap cenderung ke arah yang tertentu. Kerendahan hati, misalnya menempatkan
kemauan saya kearah yang tertentu yaitu tidak menonjolkan diri dalam semua
situasi yang dihadapi.
c. Keutaman
diperoleh melalui jalan membiasakan diri dan karena itu merupakan hasil
latihan. Keutamaan tidak dimiliki manusia sejak lahir. Pada masa anak seorang
manusia belum berkeutamaan. Ini sesuai dengan data- data psikologi perkembangan
yang memperlihatkan bahwa pada awal mula anak belum mempunyai kesadaran moral
(J. Piaget dan L. Kohlberg). Keutamaan terbentuk selama sutau proses pembiasaan
dan latihan yang cukup panjang, dimana pendidikan ikut brperan penting. Proses
pemerolehan keutamaan itu disertai suatu upaya korektif, artinya keutamaan
diperoleh dengan mengoreksi suatu sifat awal yang tidak baik.
d. Keutamaan
juga dibedakan juga dari keterampilan. Memang seperti halnya dengan keutamaan,
keterampilan pun diperoleh melalui latihan, lagi pula berciri korektif. Seperti
sifat non – moral membantu memperoleh keutamaan, demikian pula bakat alamiah
mempermudah membentuk keterampilan. Tapi disamping persamaan ini, ada perbedaan
yang lebih menentukan. Kita bias menyebutkan empat macam perbedaan, yakni;
(1)
Keterampilan hanya memungkinkan orang
untuk melakukan jenis perbuatan yang tertentu, sedangkan keutamaan tidak
terbatas pada satu jenis perbuatan saja. Eorang pemain piano, pemain bulu
tangkis, penembak jitu atau pilot pesawat terbang semua memiliki keterampilan
yang memungkinkan mereka untuk melakukan perbuatan tertentu. Seorang yang
berhasil menjadi juara bulu tangkis tentu hebat sekali dibidangnya, tetapi
tidak sanggup seperti orang lain, jika di suruh menembak jitu atau mengemudikan
pesawat terbang. Tetapi orang yang memiliki keberanian, kemurahan hati,
kesabaran atau keutamaan apa saja tidak pernah terarah kepada jenis perbuatan
tertentu saja.
(2)
Baik keterampilan maupaun keutamaan
berciri korektif: keduanya membantu untuk mengatasi suatu kesulitan awal. Tapi
disini ada perbedaan juga. Dalam hal keterampilan, kesulitan itu bersifat
teknis. Jika sudah diperoleh ketangkasan, kesulitan teknis itu teratasi. Dalam
hal keutamaan, kesulitan itu berkaitan dengan kehendak. Jika menghadapi bahaya,
kita cenderung melarikan diri. Dengan memperoleh keberanian, kehendak kita
mempunyai kesanggupan mengatasi ketakuatan itu.
(3)
Perbedaan berikut berhubungan erat
dengan yang tadi. Karena sifat teknis, keterampilan dapat diperoleh dengan
setelah ada bakat tertentu membaca buku petunjuk, mengikuti kursus, dan melatih
diri. Sedangkan proses memperoleh keutamaan jauh lebih kompleks, sama
kompleksnya dengan seluruh proses pendidikan.
(4)
Suatau perbedaan terakhir sudah disebut
oleh Aristoteles (384- 322 s.M.) dan Thomas Aquinas (1225- 1274). Perbeddaan
ini berkaitan dengan membuat kesalahan. Jika orangmemiliki keterampilan,
membuat kesalahan, ia tidak akan kehilangan keterampilannya, seandainya ia
membuat kesalahan itu dengan senngaja. Sedangka membuat kesalahan itu dengan
disengaja, justru mengakibatkan ia klaim untuk menyebut diri orang
berketerampilan.
e. Semuanya
yang dikatakan tentang keutamaan ini berlaku juga untuk lawannya. Dalam bahasa
Inggris keutamaan disebut virtue ( Latin:
virtus) dan utuk lawannya diguanakan
istilah vice (Latin: vitium). Dalam bahasa Indonesia bias
kita menggunakan kata “keburukan”. Sebagai lawan keutamaan, keburukan puan
adalah disposisi watak yang diperoleh seseorang dan memungkinkan dia bertingkah
laku secara moral. Suatu perbedaan ialah bahwa keburukan tidak diperoleh dengan
“melawan arus”, sebaliknya, keburukan terbentuk dengan mengikuti “arus”
spontan. Tetapi perbedaan yang menentukan adalah bahwa keutamaan membuat orang
bertingkah laku baik secara moral, sedangkan keburukan membuat orang bertingkah
laku buruk secara moral.
Dalam analisia
tentang keutamaan yang baru saja diadaka, dudah disebut cukup banyak contoh
konkret mengenai keutamaan. sebagaian dari keutamaan- keutamaan itu begitu erat
kaitannya dengan hakikat manusia, sehingga akan menandai manusia di segala
zaman. Pada umumnya dapat dikatan bahwa disamping keutamaan yang berlaku untuk
segala zaman dan tempat banyak keutamaan
terikat pada zaman historis atau kebudayaan tertentu karana itu bias berubah
kedudukannya akibat perubahan zaman atau kebudayaan.
Menurut
W. K. Frankena, ada dua keutamaan pokok, yaitu kebaikan hati (benevolence) dan keadilan. Dalam hal ini
pandangan filsuf Jerman Arthur Schopenhauer (1788- 1860). Menurut pandangannya
yang mempunyai pandangan yang memiliki tradisi sudah lama ada empat keutamaan
pokok: kebijakan, keberanian, pengendalian diri, dan keadilan. Thomas Aquinas menambah tiga
keutamaan lagi yang disebut keutamaan teologis: iman, kepercayaan, penghargaan,
dan cinta kasih. Sehingga sejak itu keutamaan dalam kalangan Kristen tercipta
tradisi untuk membedakan tujuh keutamaan pokok: empat yang bersifat manusiawi
biasa dan tiga yang bersifat teologis.
C. Keutamaan
dan Ethos
Keutamaan
membuat manusia menjadi baik secara pribadi. Orang yang berkeutamaan itu
sendiri adalah baik, bukan anak- anaknya, orang tuanya atau orang lain lagi,
kecuali bila mereka sendiri memiliki keutamaan juga. Keutamaan slalu merupakan
suatu cirri individual. Namun demikian sejalan dengan keutamaan yang bersifat
pribadi itu terdapat juga suatu karaktristik yang membuat kelompok menjadi baik
dalam arti moral justru sebagai kelompok, yakni ethos.
“Ethos”
adalah salah satu kata yunani kuno yang masuk ke dalam bahasa modern persis dalam bentuk seperti dipakai oleh
bahasa aslinya dulu ada karena itu sebaiknya ditulis juga menurut ejaan
aslinya. Kata ini merupakan asal- usul bagi kata seperti etika etis dalam
bahasa modern, “ethos” menunjukan cirri- cirri, pandangan, yang menandai suatu
kelompok. Dalam arti ini sering kita dengar tentang ethos kerja, ethos profesi
dan sebagainya. Disini ethos menunjuk pada suasana khas yang meliputi kerja
atau profesi. Dan perlu ditekankan lagi bahwa suasana ini dipahami dalam arti
baik secara moral. Yang dimaksudkan jika berbicara tentang ethos profesi,
tentulah hal terpuji.
Sering
kita dengar tentang ethos profesi kedokteran. Ethos dalam arti ini adalah
nilai- nilai luhur dan sifat- sifat yang terkandung dalam profesi medis. Pada
umumnya dapat dikatakan bahwa ethos suatu profesi sebagian besar tercemin dalam
Kode Etik Kedokteran Indonesia, dam miliki kaitan yang erat dengan kaitannya
erat dengan Sumpah Kedokteran.
D. Orang
Kudus dan Pahlawan
Dalam
rangka mempelajari mutu moral perbuatan- perbuatan manusia, teori- teori etika
biasanya membedakan tiga kategori perbuatan. Pertama, ada perbuatan yang
merupakan kewajiban begitu saja dan harus dilakuakan. Kita harus mengatakan
yang benar, kita harus menghormati privacy
seseorang, dan seterusnya. Kita menjadi baik secara moral, jika melakukan
perbuatan tersebut. Kedua, ada perbuatan yang dilarang secara moral dan tidak
boleh dilakukan. Kita tidak boleh berbohong, mengingkari janji, membunuh sesama
manusia, dan seterusnya. Kita menjadi buruk secara moral bila melakukan
perbuatan jenis ini. Ketiga, ada perbutan yang dapat diijinkan dari sudut
moral, dalam arti tidak dilarang dan tidak diwajibkan. Perbuatan terakhir ini
adalah netral dari sudut moral atau bias disebut amoral. Katergori perbuatan
yang ketiga ini dianggap sama luasnya dengan perbuatan yang tidak termasuk
kategori yang pertama dan yang kedua. Dengan demikian kategorisasi perbuatab
dari sudut pandang moral dianggap sudah selesai.
Masih
ada perbbuatan jenis lain yang tidak kalah penting dalam pembentukan kualitas
moral manusia, yaitu perbuatan yang melampaui kewajiban seseorang tapi dinilai
sangat terpuji jika dilakukan, sedangkan tidak ada orang yang akan dicela jika
tidak melakukannya. Dengan suatu istilah etika yang teknis perbuatan- perbuatan
semacam itu disebut “super- erogatoris” (supererogatory
acts), artinya perbuatan yang melakuakan lebih dari pada yang dituntut.
Orang justru bias memilih kualitas moral sangat tinggi bahkan sampai dianggap
kudus atau pahlawan karna perbuatan jenis tersebut.
Filsuf
Inggeris J.O. Urmso menjelaskan kata- kata “kudus” dan “pahlawan” mempunyai
arti etis juga. “kudus” terutama dipakai dalam konteks keagamaan. Dan agama
menyebut seorang “kudus”, jelas serentak juga akan implikasi moral. Maksudnya adalah
bahwa “kudus” dipakai juga dalam arti semata- mata etis, terlepas dari segala
konotasi religious. Dan “pahlawan” sering kita katakana tanpa maksud moral
apapun. Jika misalnya kepada juara bulu tangkis gelar “pahlawan dunia olah
raga’. Tapi kadang kita sebut seseorang kudus atau pahlawan hanya untuk menilai
dia dari segi moral. Dan hal ini ada hubungan erat antara dua kata “kudus” dan
”pahlawan”.
Ada
tiga macam situasi dimana seseorang biasa
disebut kudus atau pahlawan dalam arti eksklusif etis, yakni:
(1) Ketika
menyebut orang kudus, jika ia melakukan kewajiban dalam keadaan dimana
kebanyakan orang tidak akan melakukan kewajiban mereka, karena terbawa oleh
keinginan tak teratur atau kepentingan diri. Misalnya, orang tertentu selalu
jujur, walaupun sering tergiur oleh kesempatan melakukan korupsi dengan mudah
sekali. Setiap kali ia merasa tergoda oleh kesempatan seperti itu, namun ia
selalu berhasil mengatasi godaan itu. Jadi ia disebut kudus, karena ia
menjalankan kewajibannya atas dasar disiplin diri yang luar biasa. Sejalan
dengan itu, kita menyebut seseorang pahlawan jika ia melakukan kewajibannya
dalam keadaan dimana kebanyakan orang tidak akan melakukan kewajiban mereka ,
karena teripengaruhi oleh, ketakutan atau kecendrungan alamaih untuk
mempertahankan hidupnya. Misalnya, seorang prajurit di medan perang tetap
tinggal pada posnya dan tidak melarikan diri, walaupun menghadapi bahaya maut.
Setiap kali ia menghadapi bahaya ia memang merasa cenderung melarikan diri,
namun ia selalu bisa mengatasi godaan itu. Jadi ia disebut pahlawan, juga
karena ia menjalankan kewajiban atas dasar disiplin diri luar biasa yang tidak
banyak ditemukan pada kebanyakan orang.
(2) Kita
menyebut orang kudus , jika ia melakukan kewajiban dalam keadaan dimana
kebanyakan orang tidak akan melakukannya, bukan karena disiplin diri yang luar
biasa melainkan dengan muda dan tanpa usaha khusus. Dengan kata laen ia
melakukan kewajiban karena keutamaan. godaan bagi dia sebenarnya bukan godaan
lagi, karena ia sudah bias berlaku jujur, umpamanya. Begitu pula orang bias
disebut pahlawan, jika melakukan dengan mengatasi ketakutan dalam keadaan
dimana kebanyaan orang akan melarikan diri, bukan karena disiplin diri yang
luar biasa, melainkan karena ia memiliki keutamaan keberanian. Ia telah
memiliki disposisitetap untuk menghadapi bahaya dengan mudah dan tanpausaha
khusus.
(3) Dalam
situasi yang ketiga ini berlangsung perbuatan- perbuatan moral yang terletak
diluar kategorisasi dan situasi ketiga ini paling penting. Seseorang disebut
kudus atau pahlawan, jika ia melakukan dari apa yang diwajibkan. Bahwa gelar
“kudus” atau “pahlawan” terutama kita pakai sebagai gelar etis untuk menunjukan
orangyang menurut pandangan umum melampaui batas- batas kewajibanya. Disini
kita jumpai dengan orang kudus atau pahlawan dalam arti istimewa. Contohnya
adalah doctor yang dengan sukarela pergi kedaerah yang dilanda oleh penyakit
menular dan tidak mempedulikan kerugian bagi kesehatanya sendiri (bukan saja
dokter yang tetap tinggal di tempat tugas setelah wabah mulai. Disini jelas
tidk ada kewajiban, karena ia pergi sebagai sukarelawan. Perbuatan seperti itu
tentu memiliki nilai moral yang besar sekali. Tentu perbuatan moral yang tinggi
ini boleh di beri dua catatan lagi. Pertama, tidak dimaksudkan disini
perbuatan- perbuatan yang dilakukan karena dorongan alamiah. Kedua, tidak
jarang terjadi bahwa orang kudus atau pahlawan etis sesudah perbuatanya
menegaskan “ saya hanya melakukan yang harus saya lakukan” atau saya hanya
melakukan kewajiban saya”. Tapi tidak bias disangkal bahwa kata “harus” dan
“kewajiban” disini dipakai dalam arti tidak sebenarnya. Bias saja, orang yang
bersangkutan mengakui dengan rendah hati bahwa ia hanya melakukan kewajibannya.
Dan barangkali ia sungguh- sungguh merasa bahwa bagi dia tidak ada pilihan lain
daripada melakukan perbuatan tertentu dalam situasi konkrit. Barang kali ia
mengalami suatu kewajiban subjektif yang diperintahkan oleh hati nurani.
Bagaimanapun juga, apa yabg dilakukan orang kudus atau pahlawan itu tetap
merupakan perbuatan super- erogatoris, perbuatan paling luhur dibidang moral.
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan
Etika adalah
gambaran rasional mengenai hakekat dan dasar perbuatan dan keputusan yang benar
serta prinsip-prinsip yang menentukan klaim bahwa perbuatan dan keputusan
tersebut secara moral diperintahkan atau dilarang
Manusia berdasarkan
perilakunya dapat dibagi menjadi tiga golongan. Bahwa ada manusia yang baik
dari asalnya. Golongan ini tidak akan cenderung kepada kejahatan, meski
bagaimanapun, golongan ini tidak akan berubah dan akan tetap akan cenderung
baik. Golongan ini merupakan minoritas. Golongan yang memang jahat asalnya
adalah mayoritas, sama sekali tidak akan cenderung kepada kebaikan. Di antara
golongan tersebut ada golongan yang dapat beralih kepada kebaikan dan kejahatan,
karena pendidikan dan pengaruh lingkungan.[28]
Dua
pendekatan moral yang sudah dapat ditemukan dalam hidup sehari- hari dalam
tradisi pemikiran filsafat moral tampak sebagai dua tipe teori etika yang
berbeda yaitu teori etika
keutamaan dan teori etika kewajiban
B.
Saran
Dalam kehidupan sehari- hari sebaiknya kita memahami dan
mengaplikasikan 2 pendekatan etika yaitu etika keutamaan dan etika kewajiban,
dimana kedua etika ini saling berhubungan dan saling melengkapi satu sama lain.
Seorang guru apabila ingin
menjadi guru yang professional harusnya mendalami serta memiliki etika
DAFTAR
PUSTAKA
Adji, Oemar
Seno.1991. Etika Profesional Guru , Jakarta: Erlangga.
Bertens.k.(2004). Etika.Jakarta: Gramedia pustaka utama.
Johannsen,
Richard L. 1996. Etika Komunikasi.
Bandung: Remadja Rosdakarya.
Poedjawiyatna.
1996. Etika, Filsafat Tingkah Laku.
Jakarta: Rineka Cipta.
Robinson, Dave
dan Chris Garrat. 1994. Mengenal Etika –
For Beginners. Bandung: Mizan
Ruslan, Rusady. 1994.Etika
Menjadi Manusia yang Baik. Jakarta: Rajawali Pers.
Suseno, Frank
Magnis. 1987. Etika Dasar, Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral. Jakarta:
Kanisius.
http://blogspot.com/Etika Keutamaan.