a. Sejarah Perjuangan Bangsa.
Perjalanan sejarah bangsa Indonesia yang dimulai sejak era sebelum dan selama penjajahan dilanjutkan dengan era merebut dan mempertahankan kemerdekaan sampai dengan era mengisi kemerdekaan, menimbulkan kondisi dan tuntutan yang berbeda sesuai dengan zamannya. Kondisi dan tuntutan yang berbeda tersebut ditanggapi oleh bangsa Indonesia berdasarkan kesamaan nilai-nilai semangat kebangsaan kejuangan yang senantiasa tumbuh dan berkembang yang dilandasi oleh jiwa, tekad dan semangat kebangsaan. Kesemuanya itu tumbuh menjadi kekuatan yang mampu mendorong proses terwujudnya NKRi dalam wadah Nusantara.
b. Era Sebelum Penjajahan.
Sejak tahun 400 Masehi sampai dengan tahun 1617, kerajaan-kerajaan yang ada di Bumi Persada Nusantara adalah kerajaan Kutai, Tarumanegara, Sriwijaya, Kediri, Singasari, Majapahit, Samudera Pasai, Aceh, Demak, Mataram, Goa dan lain-Iainnya, merupakan kerajaan-kerajaan yang terbesar di seluruh Bumi Persada Nusantara. Nilai yang terkandung pada era sebelum penjajahan adalah rakyat yang patuh dan setia kepada rajanya membendung penjajah dan menjunjung tinggi kehormatan dan kedaulatan sebagai bangsa monarchi yang merdeka di bumi Nusantara.
c. Era Selama Penjajahan.
Bangsa Indonesia dijajah oleh bangsa asing mulai tahun 1511 sampai dengan 1945 yaitu bangsa Portugis, Belanda, inggris dan Jepang. Selama penjajahan peristiwa yang menonjol adalah tahun 1908 yang dikenal sebagai Gerakan Kebangkitan Nasional Pertama, yaitu lahirnya organisasi pergerakan Budi Utomo yang dipelopori oleh Dr. Sutomo Dan Dr. Wahidin Sudirohusodo, Dan 20 tahun kemudian pada tanggal 28 Oktober 1928 ditandai dengan lahirnya Sumpah Pemuda sebagai titik awal dari kesadaran masyarakat untuk berbangsa Indonesia, dimana putra putri bangsa Indonesia berikrar : “BERBANGSA SATU, BERTANAH AIR SATU, DAN BERBAHASA SATU : INDONESIA”. Pernyataan ikrar ini mempunyai nilai tujuan yang sangat strategis di masa depan yaitu persatuan dan kesatuan Indonesia. Niiai yang terkandung selama penjajahan adalah Harga diri, solidaritas, persatuan dan kesatuan, serta jati diri bangsa.
d. Era Merebut dan Mempertahankan Kemerdekaan.
Dimulai dari tahun 1942 sampai dengan tahun 1949; dimana pada tanggal 8 Maret 1948 Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang me!alui Perjanjian Kalijati. Selama penjajahan Jepang pemuda ¬pemudi Indonesia dilatih dalam olah kemiliteran dengan tujuan untuk membantu Jepang memenangkan Perang Asia Timur Raya. Pelatihan tersebut melalui Seinendan, Heiho, Peta dan lain-lain, sehingga pemuda Indonesia sudah memiliki bekal kemiliteran. Pada tanggal 15 Agustus 1945 Jepang menyerah kepada Sekutu disebabkan dibom atomnya kota Hirosima dan Nagasaki. Kekalahan Jepang kepada Sekutu dan kekosongan kekuasaan yang terjadi di Indonesia digunakan dengan sebaik-baiknya oleh para pemuda Indonesia untuk merebut kemerdekaan. Dengan semangat juang yang tidak kenal menyerah yang dilandasi iman dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, serta keikhlasan berkorban telah terpatri dalam jiwa para pemuda dan rakyat Indonesia untuk merebut kemerdekaannya, yang kemudian diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945 oleh Soekarno-Hatta. Setelah merdeka bangsa Indonesia harus menghadapi Belanda yang ingin menjajah kembali Indonesia dengan melancarkan aksi militernya pada tahun 1948 (Aksi Militer Belanda Pertama) dan tahun 1948 (Aksi Militer Belanda Kedua), dan pemberontakan PKI Madiun yang didalangi oleh Muso dan Amir Syarifuddin pada tahun 1948. Era merebut dan mempertahankan kemerdekaan mengandung nilai juang yang paling kaya dan lengkap sebagai titik kulminasinya adalah pada perang Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Nilai-nilai kejuangan yang terkandung dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan ‘adalah sebagai berikut :
1. Nilai kejuangan relegius (iman dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa).
2. Nilai kejuangan rela dan ikhlas berkorban.
3. Nilai kejuangan tidak mengenal menyerah.
4. Nilai kejuangan harga diri.
5. Nilai kejuangan percaya diri.
6. Nilai kejuangan pantang mundur.
7. Nilai kejuangan patriotisme.
8. Nilai kejuangan heroisme.
9. Nilai kejuangan rasa senasib dan sepenanggungan.
10. Nilai kejuangan rasa setia kawan.
11. Nilai ke juangan nasionalisme dan cinta tahah air
12. Nilai kejuangan persatuan dan kesatuan.
e. Era Mengisi Kemerdekaan.
Pada awal mengisi kemerdekaan timbul berbagai masalah antara lain timbul pergantian kabinet sebanyak 27 kali dan terjadinya berbagai pemberontakan-pemberontakan’i seperti : DIITII, APRA, RMS, Andi Azis, Kahar Muzakar, PRRI/Permesta, dan lain-lain serta terjadinya berbagai penyimpangan dalam penyelenggaraan negara sehingga timbul Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959 untuk kembali pada UUD 1945, penyimpangan y’ang sangat mendasar adalah mengubah pandangan hidup bangsa Indonesia Pancasila menjadi ideologi Komunis, yaitu dengan meletusnya peristiwa G30S/PKI. Peristiwa ini dapat segera ditumpas berkat perjuangan TNI pada waktu itu bersama-sama rakyat, maka lahir Orde Baru yaitu kembali kepada tatanan kehidupan yang baru dengan melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara mumi dan konsekuen. Selama Orde Baru pembangunan berjalan lancar, tingkat kehidupan rakyat perkapita naik, namun penyelenggaraan negara dan rakyat bermental kurang baik sehingga timbul korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) mengakibatkan krisis keuangan, krisis ekonomi dan krisis moneter serta akhimya terjadi krisis kepercayaan yang ditandai dengan turunnya Kepemimpinan Nasional, kondisi tersebut yang menjadi sumber pemicu terjadinya gejolak sosial. Kondisi demikian ditanggapi oleh mahasiswa dengan aksi-aksi dan tuntutan “Reformasi”, yang pada hakekatnya reformasi adalah perubahan yang teratur, terencana, terarah dan tidak merubah/menumbangkan suatu yang sifatnya mendasar Nilai yang terkandung pada era mengisi kemerdekaan adalah semangat dan tekad untuk mencerdaskan bangsa, mengentaskan kemiskinan dan memerangi keterbelakangan, kemandirian, penguasaan IPTEK serta daya saing yang tinggi berdasarkan pada Pancasila dan UUD 1945 sehingga siap menghadapi abad ke-21 dalam era globalisasi.
Dari uraian tersebut diatas bahwa sejarah perjuangan bangsa memiliki peranan dalam memberikan kontribusi niJai-niiai kejuangan bangsa dalam mempertahankan dan mengisi kemerdekaan untuk tetap utuh dan tegaknya NKRI yaitu SATU INDONESIA SATU.
Proses Bangsa Yang Menegara.
Proses bangsa menegara adalah suatu proses yang memberikan gambaran tentang bagaimana terbentuknya bangsa, di mana sekelompok manusia yang ada di dalamnya merasakan sebagai bagian dari bangsa dan terbentuknya negara merupakan organisasi yang mewadahi bangsa serta dirasakan kepentingannya oleh bangsa itu, sehingga tumbuh kesadaran untuk mempertahankan tetap tegak dan utuhnya negara melalui upaya Bela Negara. Dalam rangka upaya Bela Negara agar dapat terlaksana dengan baik apabila tercipta pola pikir, sikap dan tindak/perilaku bangsa yang berbudaya sebagai dorongan/motivasi adanya keinginan untuk sadar Bela Negara sebagai berikut : Bangsa Yang Berbudaya, artinya bangsa yang mau melaksanakan hubungan dengan penciptanya “Tuhan” disebut Agama; Bangsa Yang Mau Berusaha, untuk memenuhi kebutuhan hidupnya disebut Ekonomi; Bangsa Yang Mau Berhubungan Dengan lingkungan, berhubungan sesamanya dan alam sekitarnya disebut Sosial; Bangsa Yang Mau Berhubungan Dengan Kekuasaan, disebut Politik; Bangsa Yang Mau Hidup Aman Tenteram dan Sejahtera, berhubungan dengan rasa kepedulian dan ketenangan serta kenyamanan hidup dalam negara disebut Pertahanan dan Keamanan.
Pada zaman modern adanya negara lazim_ya dibenarkan oJeh anggapan-anggapan atau pandangan kemanusiaan. Demikian pula halnya menurut bangsa Indonesia, sebagaimana dirumuskan di dalam Alinea Pertama Pembukaan UUD 1945, adanya Negara Kesatuan Republik Indonesia ialah karena kemerdekaan adalah hak segala bangsa sehingga penjajahan, yang bertentangan dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan harus dihapuskan. Apabila “dalil” inj kita analisis secara teoritis, maka hidup berkelompok “baik bermasyarakat, berbangsa dan bernegara seharusnya tidak mencerminkan eksploitasi sesama manusia (penjajahan) harus berperikemanusiaan dan harus berperikeadilan. Inilah teori pembenaran paling mendasar dari pada bangsa Indonesia tentang bernegara. Hal yang kedua yang memerlukan suatu analisa ialah bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa, mengapa dalam penerapannya sering timbul pelbagai ragam konsep bernegara yang kadang-kadang dapat saling bertentangan. Perbedaan konsep tentang negara yang dilandasi oleh pemikiran ideologis adalah penyebab utamanya, sehingga perlu kita pahami filosofi ketatanegaraan tentang makna kebebasan atau kemerdekaan suatu bangsa dalam kaitannya dengan ideologinya. Namun di dalam penerapannya pada zaman modern, teori yang universal ini didalam kenyataannya tidak diikuti orang. Kita mengenal banyak bangsa yang menuntut wilayah yang sama, demikian pula halnya banyak pemerintahan yang menuntut bangsa yang sama. Orang kemudian beranggapan bahwa pengakuan dari bangsa lain, memerlukan mekanisme yang memungkinkan hal tersebut adalah lazim disebut proklamasi kemerdekaan suatu negara.
Perkembangan pemikiran seperti ini mempengaruhi pula perdebatan di dalam PPKI, baik didalam membahas wilayah negara maupun di dalam merumuskan Pembukaan UUD 1945 yang sebenarnya direncanakan sebagai naskah Proklamasi. Oleh karena itu merupakan suatu kenyataan pula bahwa tidak satupun warga negara Indonesia yang tidak menganggap bahwa terjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah pada waktu Proklamasi 17 Agustus 1945, sekalipun ada pihak-pihak terutama luar negeri yang beranggapan berbeda dengan dalih teori yang universal….
Latar belakang terjadinya kemerdekaan
http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_Indonesia_(1945-1949)
Sesuai dengan perjanjian Wina pada tahun 1942, bahwa negara-negara sekutu bersepakat untuk mengembalikan wilayah-wilayah yang kini
diduduki Jepang pada pemilik koloninya masing-masing bila Jepang berhasil
diusir dari daerah pendudukannya.
Menjelang akhir perang, tahun 1945,
sebagian wilayah Indonesia
telah dikuasai oleh tentara sekutu. Satuan tentara Australia telah mendaratkan pasukannya di Makasar dan Banjarmasin, sedangkan Balikpapan telah diduduki oleh Australia sebelum Jepang
menyatakan menyerah kalah. Sementara Pulau
Morotai dan Irian
Barat bersama-sama dikuasai oleh satuan
tentara Australia
dan Amerika Serikat
di bawah pimpinan Jenderal Douglas
MacArthur, Panglima Komando Kawasan Asia
Barat Daya (South West Pacific Area Command/SWPAC).
Setelah perang usai, tentara Australia bertanggung jawab terhadap Kalimantan dan Indonesia bagian Timur, Amerika
Serikat menguasai Filipina dan tentara Inggris dalam bentuk komando SEAC (South East Asia Command) bertanggung jawab atas India, Burma,
Srilanka, Malaya,
Sumatra, Jawa
dan Indocina. SEAC dengan panglima Lord Mountbatten sebagai Komando Tertinggi Sekutu di Asia
Tenggara bertugas melucuti bala tentera Jepang dan mengurus pengembalian tawanan perang dan tawanan warga
sipil sekutu (Recovered Allied Prisoners of War and Internees/RAPWI).
Mendaratnya Belanda diwakili NICA
Berdasarkan Civil Affairs Agreement,
pada 23
Agustus 1945 Inggris bersama tentara Belanda mendarat di Sabang, Aceh. 15
September 1945, tentara Inggris selaku wakil
Sekutu tiba di Jakarta,
dengan didampingi Dr. Charles van der Plas, wakil Belanda pada Sekutu. Kehadiran tentara Sekutu ini, diboncengi NICA (Netherland Indies Civil Administration - pemerintahan
sipil Hindia Belanda) yang dipimpin oleh Dr. Hubertus J van Mook, ia dipersiapkan untuk membuka perundingan atas dasar
pidato siaran radio Ratu
Wilhelmina tahun 1942 (statkundige concepti atau konsepsi kenegaraan),
tetapi ia mengumumkan bahwa ia tidak akan berbicara dengan Soekarno yang dianggapnya telah bekerja sama dengan Jepang. Pidato Ratu Wilhemina itu menegaskan bahwa di kemudian
hari akan dibentuk sebuah persemakmuran yang di antara anggotanya ialah
Kerajaan Belanda dan Hindia Belanda, di bawah pimpinan Ratu Belanda.
Pertempuran melawan Sekutu dan NICA
Terdapat berbagai pertempuran yang
terjadi pada saat masuknya Sekutu dan NICA ke Indonesia, yang saat itu baru menyatakan
kemerdekaannya. Pertempuran yang terjadi di
antaranya adalah:
- Peristiwa 10 November, di daerah Surabaya dan sekitarnya.
- Palagan Ambarawa, di daerah Ambarawa, Semarang dan sekitarnya.
- Perjuangan Gerilya Jenderal Soedirman, meliputi Jawa Tengah dan Jawa Timur
- Bandung Lautan Api, di daerah Bandung dan sekitarnya.
Ibukota pindah ke Yogyakarta
Karena situasi keamanan ibukota Jakarta (Batavia
saat itu) yang makin memburuk, maka pada tanggal 4
Januari 1946, Soekarno
dan Hatta dengan menggunakan kereta api, pindah ke Yogyakarta sekaligus pula memindahkan ibukota. Meninggalkan Sjahrir dan kelompok yang pro-negosiasi dengan Belanda di Jakarta.[1]
Pemindahan ke Yogyakarta dilakukan dengan menggunakan kereta
api, yang disebut dengan singkatan KLB
(Kereta Luar Biasa). Orang lantas berasumsi bahwa rangkaian kereta api yang digunakan
adalah rangkaian yang terdiri dari gerbong-gerbong luar biasa. Padahal yang
luar biasa adalah jadwal perjalanannya, yang diselenggarakan di luar jadwal
yang ada, karena kereta dengan perjalanan luar biasa ini, mengangkut Presiden
beserta Wakil Presiden, dengan keluarga dan staf, gerbong-gerbongnya dipilihkan
yang istimewa, yang disediakan oleh Djawatan Kereta Api (DKA) untuk VVIP.[2]
1946
Perubahan sistem pemerintahan
Pernyataan van
Mook untuk tidak berunding dengan Soekarno adalah salah satu faktor yang memicu perubahan sistem
pemerintahan dari presidensiil menjadi parlementer. Gelagat ini sudah terbaca oleh pihak Republik Indonesia,
karena itu sehari sebelum kedatangan Sekutu, tanggal 14
November 1945, Soekarno
sebagai kepala pemerintahan republik diganti oleh Sutan
Sjahrir yang seorang sosialis dianggap sebagai figur yang tepat untuk dijadikan ujung
tombak diplomatik, bertepatan dengan naik daunnya partai sosialis di Belanda.
Terjadinya perubahan besar dalam
sistem pemerintahan Republik Indonesia (dari sistem Presidensiil
menjadi sistem Parlementer)
memungkinkan perundingan antara pihak RI dan Belanda. Dalam pandangan Inggris dan Belanda,
Sutan Sjahrir
dinilai sebagai seorang moderat, seorang intelek, dan seorang yang telah berperang
selama pemerintahan Jepang.
Diplomasi Syahrir
Ketika Syahrir mengumumkan kabinetnya, 15 November
1945, Letnan Gubernur
Jendral van
Mook mengirim kawat kepada Menteri
Urusan Tanah Jajahan (Minister of Overseas Territories, Overzeese
Gebiedsdelen), J.H.A. Logemann,
yang berkantor di Den Haag:
"Mereka sendiri [Sjahrir dan Kabinetnya] dan bukan Soekarno yang
bertanggung jawab atas jalannya keadaan". Logemann sendiri berbicara
pada siaran radio BBC tanggal 28
November 1945, "Mereka bukan kolaborator seperti Soekarno,
presiden mereka, kita tidak akan pernah dapat berurusan dengan Dr Soekarno,
kita akan berunding dengan Sjahrir". Tanggal 6
Maret 1946 kepada van Mook, Logemann bahkan menulis bahwa Soekarno
adalah persona non grata.
Pihak Republik Indonesia memiliki
alasan politis untuk mengubah sistem pemerintahan dari Presidensiil menjadi
Parlementer, karena seminggu sebelum perubahan pemerintahan itu, Den
Haag mengumumkan dasar rencananya. Ir
Soekarno menolak hal ini, sebaliknya Sjahrir mengumumkan pada tanggal 4
Desember 1945 bahwa pemerintahnya menerima tawaran ini dengan syarat
pengakuan Belanda atas Republik Indonesia.
Tanggal 10
Februari 1946, pemerintah Belanda membuat pernyataan memperinci tentang
politiknya dan menawarkan mendiskusikannya dengan wakil-wakil Republik yang
diberi kuasa. Tujuannya hendak mendirikan persemakmuran Indonesia, yang terdiri
dari daerah-daerah dengan bermacam-macam tingkat pemerintahan sendiri, dan untuk
menciptakan warga negara Indonesia bagi semua orang yang dilahirkan di sana.
Masalah dalam negeri akan dihadapi dengan suatu parlemen yang dipilih secara
demokratis dan orang-orang Indonesia akan merupakan mayoritas. Kementerian akan
disesuaikan dengan parlemen tetapi akan dikepalai oleh wakil kerajaan.
Daerah-daerah yang bermacam-macam di Indonesia yang dihubungkan bersama-sama
dalam suatu susunan federasi dan persemakmuran akan menjadi rekan (partner)
dalam Kerajaan Belanda, serta akan mendukung permohonan keanggotaan Indonesia
dalam organisasi PBB.
Pada bulan April dan Mei 1946, Sjahrir mengepalai delegasi kecil Indonesia yang pergi
berunding dengan pemerintah Belanda di Hoge Veluwe. Lagi, ia menjelaskan bahwa titik tolak perundingan
haruslah berupa pengakuan atas Republik sebagai negara berdaulat. Atas dasar
itu Indonesia baru mau berhubungan erat dengan Kerajaan Belanda dan akan
bekerja sama dalam segala bidang. Karena itu Pemerintah Belanda menawarkan
suatu kompromi yaitu: "mau mengakui Republik sebagai salah satu unit
negara federasi yang akan dibentuk sesuai dengan Deklarasi 10 Februari".
Sebagai tambahan ditawarkan untuk mengakui pemerintahan de facto Republik atas bagian Jawa dan Madura yang belum berada di bawah perlindungan pasukan Sekutu. Karena Sjahrir tidak dapat menerima syarat-syarat ini, konferensi itu bubar dan ia bersama teman-temannya kembali pulang.
Sebagai tambahan ditawarkan untuk mengakui pemerintahan de facto Republik atas bagian Jawa dan Madura yang belum berada di bawah perlindungan pasukan Sekutu. Karena Sjahrir tidak dapat menerima syarat-syarat ini, konferensi itu bubar dan ia bersama teman-temannya kembali pulang.
Tanggal 17
Juni 1946, Sjahrir
mengirimkan surat rahasia kepada van
Mook, menganjurkan bahwa mungkin
perundingan yang sungguh-sungguh dapat dimulai kembali. Dalam surat Sjahrir
yang khusus ini, ada penerimaan yang samar-samar tentang gagasan van Mook
mengenai masa peralihan sebelum kemerdekaan penuh diberikan kepada Indonesia;
ada pula nada yang lebih samar-samar lagi tentang kemungkinan Indonenesia
menyetujui federasi Indonesia - bekas Hindia Belanda dibagi menjadi berbagai
negara merdeka dengan kemungkinan hanya Republik sebagai bagian paling penting.
Sebagai kemungkinan dasar untuk kompromi, hal ini dibahas beberapa kali
sebelumnya, dan semua tokoh politik utama Republik mengetahui hal ini.
Tanggal 17
Juni 1946, sesudah Sjahrir mengirimkan surat rahasianya kepada van
Mook, surat itu dibocorkan kepada pers oleh surat kabar di Negeri Belanda. Pada
tanggal 24
Juni 1946, van Mook
mengirim kawat ke Den Haag:
"menurut sumber-sumber yang dapat dipercaya, usul balasan (yakni surat
Sjahrir) tidak disetujui oleh Soekarno dan ketika dia bertemu dengannya, dia
marah. Tidak jelas, apa arah yang akan diambil oleh amarah itu". Pada
waktu yang sama, surat kabar Indonesia menuntut dijelaskan desas-desus tentang
Sjahrir bersedia menerima pengakuan de facto Republik Indonesia terbatas
pada Jawa dan Sumatra.
Penculikan terhadap PM Sjahrir
Tanggal 27
Juni 1946, dalam Pidato Peringatan Isra Mi'raj Nabi Muhammad SAW,
Wakil Presiden Hatta menjelaskan isi usulan balasan di depan rakyat banyak di alun-alun
utama Yogyakarta,
dihadiri oleh Soekarno
dan sebagian besar pucuk pimpinan politik. Dalam pidatonya, Hatta menyatakan
dukungannya kepada Sjahrir,
akan tetapi menurut sebuah analisis, publisitas luas yang diberikan Hatta
terhadap surat itu, menyebabkan kudeta dan penculikan terhadap Sjahrir.
Pada malam itu terjadi peristiwa penculikan
terhadap Perdana Menteri Sjahrir,
yang sudah terlanjur dicap sebagai "pengkhianat yang menjual tanah airnya".
Sjahrir diculik di Surakarta,
ketika ia berhenti dalam perjalanan politik menelusuri Jawa. Kemudian ia dibawa
ke Paras, kota dekat Solo,
di rumah peristirahatan seorang pangeran Solo dan ditahan di sana dengan
pengawasan Komandan Batalyon setempat.
Pada malam tanggal 28
Juni 1946, Ir Soekarno
berpidato di radio Yogyakarta.
Ia mengumumkan, "Berhubung dengan keadaan di dalam negeri yang
membahayakan keamanan negara dan perjuangan kemerdekaan kita, saya, Presiden
Republik Indonesia, dengan persetujuan Kabinet dan sidangnya pada tanggal 28
Juni 1946, untuk sementara mengambil alih semua kekuasaan pemerintah". Selama sebulan lebih, Soekarno mempertahankan kekuasaan yang luas yang dipegangnya. Tanggal
3
Juli 1946, Sjahrir
dibebaskan dari penculikan; namun baru tanggal 14
Agustus 1946, Sjahrir diminta kembali untuk membentuk kabinet.
Kembali menjadi PM
Tanggal 2
Oktober 1946, Sjahrir
kembali menjadi Perdana Menteri,
Sjahrir kemudian berkomentar, "Kedudukan saya di kabinet ketiga diperlemah dibandingkan dengan kabinet kedua dan pertama. Dalam kabinet ketiga saya harus berkompromi dengan Partai Nasional Indonesia dan Masyumi... Saya harus memasukkan orang seperti Gani dan Maramis lewat Soekarno; saya harus menanyakan pendapatnya dengan siapa saya
membentuk kabinet."
Konferensi Malino - Terbentuknya "negara"
baru
Bulan Juni 1946 suatu krisis terjadi
dalam pemerintahan Republik Indonesia, keadaan ini dimanfaatkan oleh pihak Belanda
yang telah mengusai sebelah Timur Nusantara. Dalam bulan Juni diadakan
konferensi wakil-wakil daerah di Malino, Sulawesi, di bawah Dr. Van Mook dan minta
organisasi-organisasi di seluruh Indonesia masuk federasi dengan 4 bagian;
Jawa, Sumatra, Kalimantan dan Timur Raya.
1946-1947
Peristiwa Westerling
Pembantaian
Westerling adalah sebutan untuk peristiwa
pembunuhan ribuan rakyat sipil di Sulawesi
Selatan yang dilakukan oleh pasukan Belanda
Depot Speciale Troepen pimpinan Westerling. Peristiwa ini terjadi pada Desember 1946-Februari 1947
selama operasi militer Counter Insurgency (penumpasan pemberontakan).
Perjanjian Linggarjati
Bulan Agustus pemerintah Belanda
melakukan usaha lain untuk memecah halangan dengan menunjuk tiga orang Komisi
Jendral datang ke Jawa
dan membantu Van Mook
dalam perundingan baru dengan wakil-wakil republik itu. Konferensi antara dua
belah pihak diadakan di bulan Oktober dan November di bawah pimpinan yang
netral seorang komisi khusus Inggris, Lord Killearn.
Bertempat di bukit Linggarjati
dekat Cirebon. Setelah mengalami tekanan berat -terutama Inggris- dari
luar negeri, dicapailah suatu persetujuan tanggal 15
November 1946 yang pokok pokoknya sebagai berikut :
- Belanda mengakui secara de facto Republik Indonesia dengan wilayah kekuasaan yang meliputi Sumatra, Jawa dan Madura. Belanda harus meninggalkan wilayah de facto paling lambat 1 Januari 1949,
- Republik Indonesia dan Belanda akan bekerja sama dalam membentuk Negara Indonesia Serikat, dengan nama Republik Indonesia Serikat, yang salah satu bagiannya adalah Republik Indonesia
- Republik Indonesia Serikat dan Belanda akan membentuk Uni Indonesia - Belanda dengan Ratu Belanda sebagai ketuanya.
Untuk ini Kalimantan dan Timur Raya akan menjadi komponennya. Sebuah Majelis
Konstituante didirikan, yang terdiri dari wakil-wakil yang dipilih secara
demokratis dan bagian-bagian komponen lain. Indonesia Serikat pada gilirannya
menjadi bagian Uni
Indonesia-Belanda bersama dengan Belanda, Suriname
dan Curasao. Hal ini akan memajukan kepentingan bersama dalam hubungan luar
negeri, pertahanan, keuangan dan masalah ekonomi serta kebudayaan. Indonesia
Serikat akan mengajukan diri sebagai anggota PBB. Akhirnya setiap perselisihan
yang timbul dari persetujuan ini akan diselesaikan lewat arbitrase.
Kedua delegasi pulang ke Jakarta, dan Soekarno-Hatta kembali ke pedalaman dua hari kemudian,
pada tanggal 15 November
1946, di rumah Sjahrir di Jakarta, berlangsung pemarafan secara
resmi Perundingan Linggarjati. Sebenarnya Soekarno yang tampil sebagai kekuasaan yang
memungkinkan tercapainya persetujuan, namun, Sjahrir yang diidentifikasikan
dengan rancangan, dan yang bertanggung jawab bila ada yang tidak beres.
Peristiwa yang terjadi terkait dengan hasil perundingan Linggarjati
Pada bulan Februari dan Maret 1947
di Malang, S M Kartosuwiryo
ditunjuk sebagai salah seorang dari lima anggota Masyumi dalam komite
Eksekutif, yang terdiri dari 47 anggota untuk mengikuti sidang KNIP (Komite
Nasional Indonesia Pusat), dalam sidang tersebut membahas apakah Persetujuan
Linggarjati yang telah diparaf oleh Pemerintah Republik dan Belanda pada bulan
November 1946 akan disetujui atau tidak Kepergian S M Kartosoewirjo ini dikawal
oleh para pejuang Hizbullah dari Jawa Barat, karena dalam rapat tersebut
kemungkinan ada dua kubu yang bertarung pendapat sangat sengit, yakni antara
sayap sosialis (diwakili melalui partai Pesindo), dengan pihak Nasionalis-Islam
(diwakili lewat partai Masyumi dan PNI). Pihak sosialis ingin agar KNPI
menyetujui naskah Linggarjati tersebut, sedang pihak Masyumi dan PNI cenderung
ingin menolaknya Ketika anggota KNIP yang anti Linggarjati benar-benar diancam
gerilyawan Pesindo, Sutomo (Bung Tomo) meminta kepada S M Kartosoewirjo untuk
mencegah pasukannya agar tidak menembaki satuan-satuan Pesindo.
DR H J Van Mook kepala Netherland
Indies Civil Administration (NICA) yang kemudian diangkat sebagai Gubernur
Jendral Hindia Belanda, dengan gigih memecah RI yang tinggal 3 pulau ini Bahkan
sebelum naskah itu ditandatangani pada tanggal 25 Maret 1947, *28 ia telah
memaksa terwujudnya Negara Indonesia Timur, dengan presiden Sukowati, lewat Konferensi Denpasar tanggal
18 - 24 Desember 1946
Pada bulan tanggal 25 Maret 1947
hasil perjanjian Linggarjati ditandatangani di Batavia Partai Masyumi menentang
hasil perjanjian tersebut, banyak unsur perjuang Republik Indonesia yang tak
dapat menerima pemerintah Belanda merupakan kekuasaan berdaulat di seluruh
Indonesia 29 Dengan seringnya pecah kekacauan, maka pada prakteknya perjanjian
tersebut sangat sulit sekali untuk dilaksanakan.
Proklamasi Negara Pasundan
Usaha Belanda tidak berakhir sampai
di NIT. Dua bulan setelah itu, Belanda berhasil membujuk Ketua Partai Rakyat
Pasundan, Soeria Kartalegawa, memproklamasikan Negara Pasundan pada tanggal 4
Mei 1947. Secara militer negara baru ini sangat lemah, ia benar benar sangat
tergantung pada Belanda, tebukti ia baru eksis ketika Belanda melakukan Agresi
dan kekuatan RI hengkang dari Jawa Barat.
Di awal bulan Mei 1947 pihak Belanda
yang memprakarsai berdirinya Negara Pasundan itu memang sudah merencanakan
bahwa mereka harus menyerang Republik secara langsung. Kalangan militer Belanda
merasa yakin bahwa kota-kota yang dikuasai pihak Republik dapat ditaklukkan
dalam waktu dua minggu dan untuk menguasai seluruh wilayah Republik dalam waktu
enam bulan. Namun mereka pun menyadari begitu besarnya biaya yang ditanggung
untuk pemeliharaan suatu pasukan bersenjata sekitar 100.000 serdadu di Jawa,
yang sebagian besar dari pasukan itu tidak aktif, merupakan pemborosan keuangan
yang serius yang tidak mungkin dipikul oleh perekonomian negeri Belanda yang
hancur diakibatkan perang. Oleh karena itu untuk mempertahankan pasukan ini
maka pihak Belanda memerlukan komoditi dari Jawa (khususnya gula) dan Sumatera
(khususnya minyak dan karet).
Agresi Militer I
Pada tanggal 27
Mei 1947, Belanda
mengirimkan Nota Ultimatum, yang harus dijawab dalam 14 hari, yang berisi:
- Membentuk pemerintahan ad interim bersama;
- Mengeluarkan uang bersama dan mendirikan lembaga devisa bersama;
- Republik Indonesia harus mengirimkan beras untuk rakyat di daerahdaerah yang diduduki Belanda;
- Menyelenggarakan keamanan dan ketertiban bersama, termasuk daerah daerah Republik yang memerlukan bantuan Belanda (gendarmerie bersama); dan
- Menyelenggarakan penilikan bersama atas impor dan ekspor
Perdana Menteri
Sjahrir menyatakan kesediaan untuk mengakui kedaulatan Belanda
selama masa peralihan, tetapi menolak gendarmerie bersama. Jawaban ini
mendapatkan reaksi keras dari kalangan parpol-parpol di Republik.
Ketika jawaban yang memuaskan tidak
kunjung tiba, Belanda terus "mengembalikan ketertiban" dengan
"tindakan kepolisian". Pada tanggal 20
Juli 1947 tengah malam (tepatnya 21
Juli 1947) mulailah pihak Belanda melancarkan 'aksi
polisionil' mereka yang pertama.
Aksi Belanda ini sudah sangat
diperhitungkan sekali dimana
mereka telah menempatkan pasukan-pasukannya di tempat yang strategis. Pasukan
yang bergerak dari Jakarta dan Bandung untuk menduduki Jawa Barat (tidak
termasuk Banten), dan dari Surabaya untuk menduduki Madura dan Ujung Timur.
Gerakan-gerakan pasukan yang lebih kecil mengamankan wilayah Semarang. Dengan
demikian, Belanda menguasai semua pelabuhan perairan-dalam di Jawa Di Sumatera,
perkebunan-perkebunan di sekitar Medan, instalasi- instalasi minyak dan
batubara di sekitar Palembang, dan daerah Padang diamankan. Melihat aksi
Belanda yang tidak mematuhi perjanjian Linggarjati membuat Sjahrir bingung dan
putus asa, maka pada bulan Juli 1947 dengan terpaksa mengundurkan diri dari
jabatannya sebagai Perdana Menteri, karena sebelumnya dia sangat menyetujui
tuntutan Belanda dalam menyelesaikan konflik antara pemerintah RI dengan
Belanda.
Menghadapi aksi Belanda ini, bagi
pasukan Republik hanya bisa bergerak mundur dalam kebingungan dan hanya
menghancurkan apa yang dapat mereka hancurkan. Dan bagi Belanda, setelah
melihat keberhasilan dalam aksi ini menimbulkan keinginan untuk melanjutkan
aksinya kembali. Beberapa orang Belanda, termasuk van Mook, berkeinginan
merebut Yogyakarta dan membentuk suatu pemerintahan Republik yang lebih lunak,
tetapi pihak Amerika dan Inggris yang menjadi sekutunya tidak menyukai 'aksi
polisional' tersebut serta menggiring Belanda untuk segera menghentikan
penaklukan sepenuhnya terhadap Republik.
Naiknya Amir Syarifudin sebagai Perdana Menteri
Setelah terjadinya Agresi Militer Belanda I pada bulan Juli, pengganti Sjahrir adalah Amir
Syarifudin yang sebelumnya menjabat sebagai Menteri Pertahanan. Dalam kapasitasnya sebagai Perdana Menteri, dia menggaet
anggota PSII yang dulu untuk duduk dalam Kabinetnya. Termasuk menawarkan kepada S.M. Kartosoewirjo
untuk turut serta duduk dalam kabinetnya menjadi Wakil Menteri Pertahanan kedua.
Seperti yang dijelaskan dalam sepucuk suratnya kepada Soekarno dan Amir
Syarifudin, dia
menolak kursi menteri karena "ia belum terlibat dalam PSII dan masih
merasa terikat kepada Masyumi".
S.M. Kartosoewirjo
menolak tawaran itu bukan semata-mata karena loyalitasnya kepada Masyumi. Penolakan itu juga ditimbulkan oleh keinginannya untuk
menarik diri dari gelanggang politik pusat. Akibat menyaksikan kondisi politik
yang tidak menguntungkan bagi Indonesia disebabkan berbagai perjanjian yang
diadakan pemerintah RI dengan Belanda. Di samping itu Kartosoewirjo tidak menyukai arah politik Amir
Syarifudin yang kekiri-kirian. Kalau dilihat
dari sepak terjang Amir Syarifudin
selama manggung di percaturan politik nasional dengan menjadi Perdana
Menteri merangkap Menteri Pertahanan sangat
jelas terlihat bahwa Amir
Syarifudin ingin membawa politik Indonesia ke
arah Komunis.
1948
Perjanjian Renville
Sementara peperangan sedang
berlangsung, Dewan Keamanan PBB, atas desakan Australia dan India,
mengeluarkan perintah peletakan senjata tanggal 1
Agustus 1947, dan segera setelah itu mendirikan suatu Komisi Jasa-Jasa
Baik, yang terdiri dari wakil-wakil
Australia, Belgia dan Amerika Serikat, untuk menengahi perselisihan itu .
Tanggal 17
Januari 1948 berlangsung konferensi di atas kapal perang Amerika
Serikat, Renville, ternyata menghasilkan persetujuan lain, yang bisa diterima
oleh yang kedua belah pihak yang berselisih. Akan terjadi perdamaian yang
mempersiapkan berdirinya zone demiliterisasi Indonesia Serikat akan didirikan,
tetapi atas garis yang berbeda dari persetujuan Linggarjati, karena plebisit
akan diadakan untuk menentukan apakah berbagai kelompok di pulau-pulau besar
ingin bergabung dengan Republik atau beberapa bagian dari federasi yang
direncanakan Kedaulatan Belanda akan tetap atas Indonesia sampai diserahkan
pada Indonesia Serikat.
Pada tanggal 19 Januari
ditandatangani persetujuan Renville Wilayah Republik selama masa peralihan
sampai penyelesaian akhir dicapai, bahkan lebih terbatas lagi ketimbang
persetujuan Linggarjati : hanya meliputi sebagian kecil Jawa Tengah (Jogja
dan delapan Keresidenan) dan ujung barat pulau Jawa -Banten tetap daerah
Republik Plebisit akan diselenggarakan untuk menentukan masa depan wilayah yang
baru diperoleh Belanda lewat aksi militer. Perdana menteri Belanda menjelaskan
mengapa persetujuan itu ditandatangani agar Belanda tidak "menimbulkan
rasa benci Amerika".
Sedikit banyak, ini merupakan
ulangan dari apa yang terjadi selama dan sesudah perundingan Linggarjati.
Seperti melalui persetujuan Linggarjati, melalui perundingan Renville, Soekarno
dan Hatta dijadikan lambang kemerdekaan Indonesia dan persatuan Yogyakarta
hidup lebih lama, jantung Republik terus berdenyut. Ini kembali merupakan inti
keuntungan Seperti sesudah persetujuan Linggarjati, pribadi lain yang jauh dari
pusat kembali diidentifikasi dengan persetujuan -dulu Perdana Menteri Sjahrir,
kini Perdana Menteri Amir- yang dianggap langsung bertanggung jawab jika
sesuatu salah atau dianggap salah.
Runtuhnya Kabinet Amir dan naiknya Hatta sebagai
Perdana Menteri
Dari adanya Agresi
Militer I dengan hasil diadakannya Perjanjian Renville
menyebabkan jatuhnya Kabinet Amir. Seluruh anggota yang tergabung dalam kabinetnya yang terdiri dari anggota PNI dan Masyumi
meletakkan jabatan ketika Perjanjian Renville
ditandatangani, disusul kemudian Amir sendiri meletakkan jabatannya sebagai Perdana
Menteri pada tanggal 23
Januari 1948. Dengan pengunduran dirinya ini dia mungkin mengharapkan
akan tampilnya kabinet baru yang beraliran komunis untuk menggantikan
posisinya. Harapan itu menjadi buyar ketika Soekarno berpaling ke arah lain dengan menunjuk Hatta untuk memimpin suatu 'kabinet
presidentil' darurat (1948-1949), dimana seluruh pertanggungjawabannya dilaporkan kepada Soekarno sebagai Presiden.
Dengan terpilihnya Hatta, dia menunjuk para anggota yang duduk dalam kabinetnya
mengambil dari golongan tengah, terutama orang-orang PNI, Masyumi,
dan tokoh-tokoh yang tidak berpartai. Amir dan kelompoknya dari sayap kiri kini menjadi pihak oposisi. Dengan mengambil sikap sebagai oposisi tersebut membuat
para pengikut Sjahrir
mempertegas perpecahan mereka dengan pengikut-pengikut Amir dengan membentuk partai tersendiri yaitu Partai Sosialis Indonesia (PSI), pada bulan Februari 1948, dan sekaligus memberikan
dukungannya kepada pemerintah Hatta.
Memang runtuhnya Amir datang bahkan
lebih cepat ketimbang Sjahrir, enam bulan lebih dulu Amir segera dituduh
-kembali khususnya oleh Masyumi dan kemudian Partai Nasional Indonesia- terlalu
banyak memenuhi keinginan pihak asing. Hanya empat hari sesudah Perjanjian Renville
ditandatangani, pada tanggal 23
Januari 1948, Amir
Syarifudin dan seluruh kabinetnya berhenti. Kabinet
baru dibentuk dan susunannya diumumkan
tanggal 29 Januari
1948. Hatta
menjadi Perdana Menteri
sekaligus tetap memangku jabatan sebagai Wakil
Presiden.
Tampaknya kini lebih sedikit jalan
keluar bagi Amir
dibanding dengan Sjahrir
sesudah Perundingan Linggarjati; dan lebih banyak penghinaan. Beberapa hari sesudah Amir berhenti, di awal Februari 1948, Hatta membawa Amir dan beberapa pejabat Republik lainnya mengelilingi Provinsi. Amir diharapkan menjelaskan Perjanjian Renville.
Pada rapat raksasa di Bukittinggi, Sumatra Barat,
di kota kelahiran Hatta -dan rupanya diatur sebagai tempat berhenti
terpenting selama perjalanan- Hatta berbicara tentang kegigihan Republik, dan pidatonya
disambut dengan hangat sekali.
Kemudian Amir naik mimbar, dan seperti diuraikan Hatta kemudian: "Dia tampak bingung, seolah-olah nyaris
tidak mengetahui apa ayang harus dikatakannya. Dia merasa bahwa orang rakyat
Bukittinggi tidak menyenanginya, khususnya dalam hubungan persetujuan dengan Belanda. Ketika dia meninggalkan mimbar, hampir tidak ada yang
bertepuk tangan"
Menurut peserta lain: "Wajah
Amir kelihatannya seperti orang yang sudah tidak berarti". Sjahrir juga diundang ke rapat Bukittinggi ini; dia datang dari Singapura dan berpidato. Menurut Leon Salim -kader lama Sjahrir-
"Sjahrir juga kelihatan capai dan jarang tersenyum". Menurut
kata-kata saksi lain, "Seolah-olah ada yang membeku dalam wajah Sjahrir"
dan ketika gilirannya berbicara "Dia hanya mengangkat tangannya dengan
memberi salam Merdeka dan mundur". Hatta kemudian juga menulis dengan
singkat tentang pidato Sjahrir: "Pidatonya pendek".
Dipermalukan seperti ini, secara psikologis amat mungkin menjadi bara dendam
yang menyulut Amir untuk memberontak di kemudian hari.
Perjanjian Renville
tidak lebih baik daripada perundingan di Linggarjati. Kedua belah pihak menuduh masing-masing melanggar
perdamaian, dan Indonesia
menuduh Belanda mendirikan blokade dengan maksud memaksanya menyerah. Bulan Juli 1948, Komisi Jasa-jasa
Baik, yang masih ada di tempat mengawasi
pelaksanaan persetujuan itu, melaporkan bahwa Indonesia mengeluh akan gencatan senjata yang berulang-ulang.
1948-1949
Agresi Militer II
Agresi
Militer II terjadi pada 19
Desember 1948 yang diawali dengan serangan terhadap Yogyakarta, ibu kota
Indonesia saat itu, serta penangkapan Soekarno, Mohammad
Hatta, Sjahrir dan beberapa tokoh lainnya. Jatuhnya ibu kota negara ini
menyebabkan dibentuknya Pemerintah Darurat
Republik Indonesia di Sumatra yang dipimpin oleh Sjafruddin Prawiranegara.
Perjanjian Roem Royen
Akibat dari Agresi Militer tersebut, pihak internasional melakukan tekanan kepada Belanda, terutama
dari pihak Amerika Serikat
yang mengancam akan menghentikan bantuannya kepada Belanda, akhirnya dengan terpaksa Belanda bersedia untuk kembali berunding dengan RI. Pada tanggal 7 Mei 1949,
Republik Indonesia
dan Belanda menyepakati Perjanjian Roem Royen.
Serangan Umum 1 Maret 1949 atas Yogyakarta
Serangan yang dilaksanakan pada
tanggal 1
Maret 1949 terhadap kota Yogyakarta secara secara besar-besaran yang direncanakan dan
dipersiapkan oleh jajaran tertinggi militer di wilayah Divisi III/GM III
-dengan mengikutsertakan beberapa pucuk pimpinan pemerintah sipil setempat-
berdasarkan instruksi dari Panglima Besar Sudirman, untuk membuktikan kepada dunia internasional bahwa TNI
-berarti juga Republik Indonesia- masih ada dan cukup kuat, sehingga dengan
demikian dapat memperkuat posisi Indonesia dalam perundingan yang sedang
berlangsung di Dewan Keamanan PBB dengan tujuan utama untuk mematahkan moral pasukan Belanda
serta membuktikan pada dunia internasional bahwa Tentara Nasional Indonesia (TNI) masih mempunyai kekuatan untuk mengadakan perlawanan.
Soeharto pada waktu itu sebagai komandan brigade X/Wehrkreis III turut serta sebagai pelaksana lapangan di wilayah Yogyakarta.
Serangan Umum Surakarta
Serangan Umum Surakarta berlangsung
pada tanggal 7-10 Agustus 1949 secara gerilya oleh para pejuang, pelajar, dan
mahasiswa. Pelajar dan mahasiswa yang berjuang tersebut kemudian dikenal
sebagai tentara pelajar. Mereka berhasil membumihanguskan dan menduduki
markas-maskas Belanda di Solo dan sekitarnya. Serangan itu menyadarkan Belanda bila mereka tidak akan mungkin menang secara militer,
mengingat Solo yang merupakan kota yang pertahanannya terkuat pada waktu itu
berhasil dikuasai oleh TNI yang secara peralatan lebih tertinggal tetapi
didukung oleh rakyat dan dipimpin oleh seorang pemimpin yang andal seperti Slamet
Riyadi.
Konferensi Meja Bundar
Konferensi
Meja Bundar adalah sebuah pertemuan antara
pemerintah Republik Indonesia
dan Belanda yang dilaksanakan di Den
Haag, Belanda dari 23
Agustus hingga 2
November 1949. Yang menghasilkan kesepakatan:
- Belanda mengakui kedaulatan Republik Indonesia Serikat.
- Irian Barat akan diselesaikan setahun setelah pengakuan kedaulatan.
Penyerahan kedaulatan oleh Belanda
Belanda mengakui kemerdekaan
Indonesia pada 27 Desember
1949, selang empat tahun setelah proklamasi
kemerdekaan RI pada 17
Agustus 1945. Pengakuan ini dilakukan ketika soevereiniteitsoverdracht
(penyerahan kedaulatan) ditandatangani di Istana Dam, Amsterdam.
Di Belanda selama ini juga ada kekhawatiran bahwa mengakui Indonesia merdeka pada tahun 1945 sama saja mengakui tindakan politionele acties (Aksi
Polisionil) pada 1945-1949
adalah ilegal.
0 komentar:
Posting Komentar