Subscribe:

Selasa, 29 April 2014

SISTEM FILSAFAT MORAL



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Penjelasan mengenai makna kehidupan dan bagaimana seharusnya kita menjalaninya merupakan masalah yang klasik, yang hingga sekarang susah untuk ditetapkan filsafat mana yang paling benar yang seharusnya kita anut. Para filsuf tersebut menggunakan sudut pandang yang berbeda sehingga menghasilkan filsafat yang berbeda pula. Dari beberapa banyak aliran filsafat, kami hanya membahas aliran filsafat hedonisme, eudemonisme, utilitarisme dan deontologi. Antara aliran atau paham yang satu dan yang lainnya ada yang saling bertentangan dan ada pula yang memiliki konsep dasar sama. Akan tetapi meskipun bertentangan, bukanlah untuk saling dipertentangkan. Justru dengan banyaknya aliran atau paham yang sudah diperkenalkan oleh tokoh-tokoh filsafat, kita dapat memilih cara yang pa­s dengan persoalan yang sedang kita hadapi.

B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas dapat dirumuskan beberapa masalah sebagai berikut:
1.      Bagaimana pandangan hedonisme sebagai teori etika?
2.      Bagaimana pandangan eudemonisme Aristoteles?
3.      Bagaimana pandangan utilitarisme?
4.      Bagaimana pandangan Immanuel Kant dalam teorinya yang disebut deontologi?
5.      Bagaimana koreksian yang diusulkan W.D. Ross terhadap Deontologi Kant?
 
C.    Tujuan
Berdasarkan latar belakang masalah di atas dapat dirumuskan beberapa tujuan sebagai berikut:
1.      Untuk mengetahui bagaimana pandangan hedonisme sebagai teori etika.
2.      Untuk mengetahui bagaimana pandangan eudemonisme Aristoteles.
3.      Untuk mengetahui bagaimana pandangan utilitarisme.
4.      Untuk mengetahui bagaimana pandangan Immanuel Kant dalam teorinya yang disebut deontologi.
5.      Untuk mengetahui bagaimana koreksian yang diusulkan W.D. Ross terhadap Deontologi Kant.

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Hedonisme
Atas pertanyaan “apa yang menjadi hal yang terbaik bagi manusia”, para hedonis menjawab: kesenangan (hêdonê dalam bahasa Yunani). Adalah baik apa yang memuaskan keinginan kita, apa yang meningkatkan kuantitas kesenangan atau kenikmatan dalam diri kita.
Dalam filsafat Yunani hedonisme sudah ditemukan pada Aristippos dari Kyrene (sekitar 433-355 s.M.), seorang murid Sokrates. Sokrates telah bertanya tentang tujuan terakhir bagi kehidupan manusia atau apa yang sungguh-sungguh baik bagi manusia. Aristippos menjawab: yang baik bagi manusia adalah kesenangan. Bagi Aristippos kesenangan itu bersifat badani belaka, karena hakikatnya tidak lain daripada gerak dalam badan. Mengenai gerak itu ia membedakan tiga kemungkinan: gerak yang kasar dan itulah ketidaksenangan, misalnya, rasa sakit; gerak yang halus dan itulah kesenangan; sedangkan tiadanya gerak merupakan suatu keadaan netral, misalnya, jika kita tidur. Aristippos menekankan lagi bahwa kesenangan harus dimengerti sebagai kesenangan aktual, bukan kesenangan dari masa lampau dan kesenangan di masa mendatang. Dapat disimpulkan dari pandangan Aristippos bahwa ia mengerti kesenangan sebagai badani, aktual dan individual. Aristippos pun mengakui perlunya pengendalian diri, sebagaimana sudah diajarkan oleh gurunya, Sokrates.
Filsuf Yunani lain yang melanjutkan hedonisme adalah Epikuros (341-270 s.M.), yang memimpin sebuah sekolah filsafat di Athena. Epikuros pun melihat kesenangan (hêdonê) sebagai tujuan kehidupan manusia. Epikuros mengakui adanya kesenangan yang melebihi tahap badani. Dalam sepucuk surat ia menulis: “Bila kami mempertahankan bahwa kesenangan adalah tujuannya, kami tidak maksudkan kesenangan inderawi, tapi kebebasan dari nyeri dalam tubuh kita dan kebebasan dari keresahan dalam jiwa” (Surat kepada Menoikeus). Menurut Epikuros kita harus memandang kehidupan sebagai keseluruhan termasuk juga masa lampau dan masa depan.
Biarpun pada dasarnya setiap kesenangan bisa dinilai baik, namun itu tidak berarti bahwa setiap kesenangan harus dimanfaatkan juga. Dalam hal ini pentinglah pembedaan yang diajukan Epikuros antara tiga macam keinginan: keinginan alamiah yang perlu (seperti makanan), keinginan alamiah yang tidak perlu (seperti makanan yang enak), dan keinginan yang sia-sia (seperti kekayaan).
Manusia akan mencapai ataraxia, ketenangan jiwa atau keadaan jiwa seimbang yang tidak membiarkan diri terganggu oleh hal-hal yang lain. Ataraxia begitu penting bagi Epikuros, sehingga ia menyebutnya juga tujuan kehidupan manusia (di samping kesenangan). Ataraxia berperanan bagi jiwa, seperti kesehatan bagi badan. Orang bijaksana yang memperoleh ketenangan jiwa itu akan berhasil mengusir segala macam ketakutan (untuk kematian, dewa-dewa dan suratan nasib), menjauhkan diri dari kehidupan politik dan menikmati pergaulan dengan sahabat-sahabat.

Tinjauan Kritis
a.   Dalam hedonisme terkandung kebenaran yang mendalam: manusia menurut kodratnya mencari kesenangan dan  berupaya menghindari ketidaksenangan. Sigmund Freud memperlihatkan bahwa kecenderungan manusia itu bahkan terdapat pada taraf tak sadar. Tidak bisa disangkal, keinginan akan kesenangan merupakan suatu dorongan yang sangat mendasar dalam hidup manusia. Tapi disini perlu dikemukakan sebuah catatan kritis yang pertama. Apakah manusia selalu mencari kesenangan? Apakah manusia menurut kodratnya mencari kesenangan dalam arti bahwa ia tidak lagi manusia (tapi malaikat atau apa...), jika ia tidak mencari kesenangan? Apakah tidak mungkin juga manusia yang membaktikan seluruh hidupnya demi kebaikan orang lain, dengan niat murni dan tanpa pamrih? Tentu saja para hedonis selalu  bisa mengatakan bahwa mencari kesenangan adalah motivasi terakhir. Para hedonis bisa menegaskan bahwa membantu orang lain selalu juga menyenangkan, karena “lebih baik memberi daripada menerima”.
b.   Kritik lebih berat lagi adalah bahwa dalam argumentasi hedonisme terdapat loncatan yang tidak dipertanggungjawabkan. Dari anggapan bahwa kodrat manusia adalah mencari kesenangan (yang menurut hemat kami dapat dipertanyakan lagi), ia sampai pada menyetarafkan kesenangan dengan moralitas yang baik. Secara logis hedonisme harus membatasi diri pada suatu etika deskriptif saja (pada kenyataannya kebanyakan manusia membiarkan tingkah lakunya dituntun oleh kesenangan), dan tidak boleh merumuskan suatu etika normatif (yang baik secara moral adalah mencari kesenangan). ada yang memperoleh kesenangan dengan menyiksa atau malah membunuh orang lain, yaitu mereka yang disebut kaum sadis. Para hedonis tidak bisa menyingkirkan kenyataan itu dengan menandaskan: tapi perbuatan seperti itu akan dihukum dan karena itu akan disertai ketidaksenangan. Sebab, banyak perbuatan jahat tidak diketahui dan akibatnya tidak dihukum. Karena itu kesenangan saja tidak cukup untuk menjamin sifat etis suatu perbuatan.
c.   Para hedonis mempunyai konsepsi yang salah tentang kesenangan. Mereka berpikir bahwa sesuatu adalah baik, karena disenangi. Sebenarnya kesenangan adalah pantulan subyektif dari sesuatu yang obyektif. Sesuatu tidak menjadi baik karena disenangi, tapi sebaliknya kita merasa senang karena memperoleh atau memiliki sesuatu yang baik.
d.   Hedonisme mengandung suatu egoisme, karena hanya memperhatikan kepentingan dirinya saja. Yang dimaksudkan dengan egoisme disini adalah egoisme etis atau egoisme yang mengatakan bahwa saya tidak mempunyai kewajiban moral membuat sesuatu yang lain daripada yang terbaik bagi diri saya sendiri. Egoisme etis mempunyai prinsip: saya duluan, orang lain belakangan saja. Egoisme etis harus ditolak karena bertentangan dengan prinsip persamaan: semua manusia harus diperlakukan dengan cara sama, selama tidak ada alasan untuk perlakuan yang berbeda.

Penutup
Filsuf Inggris, John Locke (1632-1704), menandaskan: “kita sebut baik apa yang menyebabkan atau meningkatkan kesenangan; sebaliknya, kita namakan jahat apa yang dapat mengakibatkan ketidaksenangan apa saja atau mengurangi kesenangan apa saja dalam diri kita”. Tapi dalam bentuk modernnya sifat individualistis dan egoistis dari hedonisme Yunani kuno telah ditinggalkan. Hedonisme yang menjiwai pemikiran modern itu mengakui dimensi sosial sebagai faktor yang tidak bisa disingkirkan.
Dalam dunia modern sekarang ini rupanya hedonisme masih hadir dalam bentuk yang lain. Hedonisme merupakan “etika implisit” yang—mungkin tanpa disadari—dianut oleh banyak individu dewasa ini.
B.     Eudemonisme
Eudemonisme merupakan salah satu filsafat moral selain hedonisme dan yang lainnya. Eudemonisme berasal dari kata “ Eudaimonia” yang berarti kebahagiaan. Pandangan ini berasal dari filsuf Yunani besar, Aristoteles (384-322 s.M). Dalam bukunya, Ethika Nikomakheia, ia mulai dengan menegaskan bahwa dalam setiap kegiatannya manusia mengejar suatu tujuan. Bisa dikatakan juga, dalam setiap perbuatan kita ingin mencapai sesuatu yang baik bagi kita. Sering kali mencari suatu tujuan untuk mencapai suatu tujuan lain lagi. Misalnya, kita minum obat untuk bisa tidur dan kita tidur untuk dapat memulihkan kesehatan. Menurut Aristoteles, semua orang akan menyetujui bahwa tujuan tertinggi dalam terminologi modern kita bisa mengatakan: makna terakhir hidup manusia adalah kebahagiaan (eudaimonia).
Menurut Aristoteles, seseorang mencapai tujuan terakhir dengan menjalankan fungsinya dengan baik. Tujuan terakhir pemain suling adalah main dengan baik. Tujuan terakhir tukang sepatu adalah membikin sepatu yang baik. Nah, jika manusia menjalankan fungsinya sebagai manusia dengan baik, ia juga mencapai tujuan terakhirnya atau kebahagiaan. Keunggulan dan kekhasan manusia  ada pada akalnya (rasio). Karena itu, untuk mencapai kebahagiaannya, seseorang harus menjalankan fungsi-fungsi rasio dengan melakukan kegiatan rasional. Kegiatan-kegiatan rasional itu disertai keutamaaan. Bagi Aristoteles ada dua macam keutamaan : keutamaan intelektual dan keutamaan moral. Keutamaan intelektual menyempurnakan langsung rasio itu sendiri. Dengan keutamaan-keutamaan moral ini dibahas Aristoteles dengan panjang lebar. Keutamaan seperti keberanian dan kemurahan hati merupakan pilihan yang dilaksanakan oleh rasio. Dalam hal ini rasio menentukan jalan tengah antara dua ekstrem yang berlawanan. Atau dengan kata lain, keutamaan adalah keseimbangan antara “kurang “ dan “terlalu banyak”. Misalnya, keberanian adalah keutamaan yang memilih jalan tengah antara sikap gegabah dan sikap pengecut; kemurahan hati adalah keutamaan yang mencari jalan tengah antara kekikiran dan pemborosan. Keutamaan yang menentukan jalan tengah itu oleh Aristoteles di sebut phronesis (kebijaksanaan praktis). Phronesis menentukan apa yang bisa dianggap sebagai keutamaan dalam suatu situasi konkret. Karena itu keutamaan ini merupakan inti seluruh kehidupan moral.
Sekali lagi perlu ditekankan bahwa tidaklah cukup kita kebetulan atau satu kali saja mengadakan pilihan rasional yang tepat dalam perbuatan kita sehari-hari. Baru ada keutamaan jika kita bisa menentukan jalan tengah di antara ekstrem-ekstrem itu dengan suatu sikap tetap. Menurut Aristoteles, manusia adalah baik dalam arti moral, jika selalu mengadakan pilihan-pilihan rasional yang tepat dalam perbuatan-perbuatan moralnya dan mencapai keunggulan dalam penalaran intelektual. Orang seperti itu adalah bahagia. Kebahagiaan itu akan disertai kesenangan juga, walaupun kesenangan tidak merupakan inti yang sebenarnya dari kebahagiaan.

Tinjauan kritis
a.       Memang benar, pemikiran tentang keutamaan adalah bagian paling menarik dalam etikanya. Tapi ajarannya mempunyai kelemahan juga. Salah satu kelemahan adalah bahwa daftar keutamaan yang disebut olehnya tidak merupakan hasil pemikiran Aristoteles saja tapi mencerminkan pandangan etis dari masyarakat Yunani pada waktu itu dan lebih khusus lagi mencerminkan golongan atas dalam masyarakat Athena tempat Aristoteles hidup. Dan ternyata tidak bisa diharapkan juga ia akan menyajikan daftar keutamaan yang berlaku selalu dan dimana-mana. Pasti ada sejumlah keutamaan yang berlaku agak umum. Tapi di samping itu setiap kebudayaan dan setiap periode sejarah akan memiliki keutamaan-keutamaan sendiri, yang belum tentu sama dalam kebudayaan atau periode sejarah lain. Kerendahan hati, misalnya, merupakan keutamaan yang berasal dari tradisi lain dan belum bisa diharapkan dalam pembahasan Aristoteles. Suka bekerja keras merupakan contoh lain tentang keutamaan yang tidak mungkin ditemukan pada Aristoteles. Malah ia memandang rendah pekerjaan fisik, sesuai dengan pandangan Yunani pada waktu itu.
b.      Keberatan lain menyangkut pemikiran Aristoteles tentang keutamaan sebagai jalan tengah antara dua ekstrem. Aristoteles menjelaskan hal itu dengan sebuah analisis bagus dan tajam tentang keberanian, misalnya. Tapi soalnya adalah apakah keutamaan selalu merupakan jalan tengah antara “kurang’ dan “terlalu banyak”. Aristoteles sendiri mengalami kesulitan dengan keutamaan seperti pengendalian diri. Perbuatan seperti makan terlalu banyak, jelas bertentangan dengan keutamaan pengendalian diri. Tapi jika orang makan kurang daripada apa yang dianggap perlu , apakah perbuatannya melanggar keutamaan itu juga ? rupanya sulit mengatakan demikian. Perbuatan seperti berpuasa justru dianggap suatu perbuatan terpuji dan pelaksanaan keutamaan pengendalian diri. Aristoteles sendiri mengakui bahwa praktis tidak ada manusia yang tak acuh terhadap makanan, sehingga segi “kurang” di sini sulit ditunjukkan.
c.       Tadi sudah dijelaskan bahwa pemikiran Aristoteles diwarnai suasana eliter karena terutama mencerminkan golongan atas dalam mesyarakat Yunani waktu itu. Bisa ditambah lagi bahwa pada Aristoteles kita sama sekali belum melihat paham hak manusia, apalagi persamaan hak semua manusia. Malah ia membenarkan secara rasional lembaga perbudakan, karena ia berpendapat bahwa beberapa manusia menurut kodratnya adalah budak. Suatu pandangan menurut orang modern justru tidak etis. Tapi keberatan ini tidak perlu terlalu ditekankan, karena kita tidak bisa mengeritik seseorang karena dia anak dari zamannya. Kita tidak bisa menghukum filsuf Yunani kuno ini, karena belum termasuk zaman modern.
d.      Etika Aristoteles dan khususnya ajarannya tentang keutamaan tidak begitu berguna untuk memecahkan dilema-dilema moral besar yang kita hadapi sekarang ini. Pemikirannya tidak membantu banyak dalam mencari jalan keluar bagi masalah-masalah moral penting di zaman kita, seperti misalnya risiko penggunaan tenaga nuklir, reproduksi artificial, percobaan medis dengan embrio dan sebagainya. Disini kita membutuhkan pertimbangan–pertimbangan yang dapat dipertanggungjawabkan. Pandangan Aristoteles tentang keutamaan lebih cocok untuk menilai kadar moral seseorang berdasarkan perbuatan-perbuatannya, termasuk juga hidup moralnya sebagai keseluruhan.
C.    Utilitarisme
1.      Utilitarisme klasik
Aliran ini berasal dari tradisi pemikiran moral di Unuted Kingdom dan kemudian berpengaruh keseluruh kawasan yang berbahasa inggris. Filsuf Skotlandia, david Hume (1711-1776), sudah memberi sumbangan penting ke arah perkembangan aliran ini, tapi utilitarisme menurut lebih matang berasal dari filsuf inggris jeremy Bentham (1748-1832), dengan bukunya introduction to the principles of morals and legislation (1789). Ultilistarisme dimaksudnya sebagai dasar etis untuk memperbarui hkum inggris. Khususnya hukum pidana. Jadi, ia tidak ingin menciptakan suatu teori moral abstark, tetapi mempunyai maksud sangat konkrit. Ia nerpendapat bahwa tujuan hukum adalah memajukan kepentingan warga negara bukan melaksanakan perintah-perintah ilahi atau melindungi yang disebut hak-hak kodrati. Karna itu ia beranggapan bahwa klasifikasi kejahatan, umpamanya dalam sistem hukum inggris sudah ketinggalan zaman dan harus di ganti.
Betham mulai menekankan bahwa umat manusia menurut kodratnya ditempatkan dibawah pemerintahan dua penguasa yang berdaulat (ketidaksenagan dan kesenangan). Kebahagian tercapai, jika ia memiliki kesenangan dan bebas dari kesusahan. Dalam hal ini betham sebenarnya melanjutkan begitu saja hedonisme klasik.
Karena menurut kodratnya tingkah laku manusia terarah pada kebahagian, maka suatu perbutan dapat dinilai baik atau buruk, sejauh dapat meningkatkan atau mengurangi kebahagian sebanyak mungkin orang. Dalam hal ini betham meninggalkan hedonisme individualistis dan egoistis dengan menekankan bahwa kebahagian itu menyangkut seluruh umat manusia. Menureut Betham, prinsip kegunaan itu harus diterapkan secara kuantitatif. Karena kualitas kesenagan selalu sama, satu-satunya aspeknya yang bisa berbeda adalah kulitasnya.
Ultilitarisme diperluas dan diperkukuh lagi oleh filsufi inggris, Jhon Stuart Milln (1806-18730). Dalam bukunya ia mengeritik pandangan Betham bahwa kesenangan dan kebahagian harus diukur secara kuantitatif. Ia berpendapat bahwa kualitasnya perlu ditimbangkan juga, karena ada kesengan yang lebih tinggi mutunya dan ada yang lebih rendah.
Pikran Mill yang kedua adalah bahwa kebahagian yang menjadi norma etis adalah kebahagian semua orang terlibat dalam suatu kejadian, bukan kebahagian satu orang saja.

Tinjauan kritis
Salah satu kekuatan utilitarisme adalah bahwa mereka menggunakan sebuah prinsip jelas dan rasional. Akan tetapi, utilitarisme juga mempunyai beberapa kelemahan yaitu:
a.       Prinsip kegunaan bahwa suatu perbuatan adalah baik jika menghasilkan kebahagiaan terbesar untuk jumlah orang terbesar, tidak selamanya benar.
b.      Kebahagiaan lain lagi adalah bahwa prinsip kegunaan tidak memberi jaminan apa pun bahwa kebahagiaan dibagi juga dengan adil.
2.      Utilitarisme Aturan
Suatu percobaan yang menarik untuk mengatasi kritikan berat yang dikemukakan terhadap ultilitarisme adalah membedakan antara dua macam ultilitarisme. Ultilitarisme perbuatan dan ultilitarisme aturan. Hal itu dikemukakan oleh filsuf inggris-amerika Stephen Toulmin, menegaskan bahwa prinsip kegunaan tidak harus diterapkan atas salah satu perbuatan, melainkan atas aturan-aturan moral yang mengatur perbuatan-perbuatan kita.
Filsuf Richard B. Brandt melangkah lebih jauh lagi dengan mengusulkan agar bukan aturan moral satu demi satu, melainkan sistem aturan moral sebagai keseluruhan diuji dengan prinsip kegunaan.
Utilitarisme aturan ini merupakan sebuah varian yang menarik dari utilitarisme. Perlu diakui bahwa dengan demikian kita bisa lolos dari banyak kesulitan yang melekat pada utilitarisme perbuatan. Utilitarisme  aturan ini timbul jika terjadi konflik antara dua aturan moral.
D.    Deontologi
Deontologi berasal dari bahasa Yunani deon yang berarti apa yang harus dilakukan; kewajiban)
1.      Deontologi Menurut I. Kant
Yang menciptakan system moral ini adalah filsuf besar dari Jerman, Immanuel Kant (1724-1804). Menurut Kant, yang bisa disebut baik dalam arti sesungguhnya hanyalah kehendak yang baik. Semua hal lain disebut baik secara terbatas atau dengan syarat. Kesehatan, kekayaan, atau intelegensi, misalnya, adalah baik jika digunakan dengan baik oleh kehendak manusia. Tapi jika dipakai oleh kehendak yang jahat semua hal itu bisa menjadi jelek sekali. Bahkan keutamaan-keutamaan bisa disalahgunakan oleh kehendak yang jahat.
Menurut Kant kehendak menjadi baik, jika bertindak karena kewajiban. Kalau perbuatan dilakukan dengan suatu maksud atau motif lain, perbuatan itu tidak bisa disebut baik, betapapun luhur atau terpuji motif itu. Misalnya, kalau perbuatan dilakukan karena kecenderungan atau watak, perbuatan itu secara moral tidak baik. Mungkin sifat watak saya demikian, sehingga saya selalu senang membantu orang lain. Bagi Kant, perbuatan-perbuatan yang berasal dari kecenderungan macam itu tidak bisa disebut baik, tapi dari sudut moral bersifat netral saja. Atau mungkin saya member derma kepada pengemis, karena hati saya tergerak oleh keadaannya yang menyedihkan. Atau mungkin saya mengembalikan buku yang saya pinjam dari perpustakaan,karena takut akan terkena denda, bila terlambat dikembalikan. Semua perbuatan itu tidak patu disebut baik. Perbuatan adalah baik jika hanya dilakukan karena wajib dilakukan. Jadi, belum cukup jika suatu perbuatan sesuai dengan kewajiban. Seharusnya perbuatan dilakukan berdasarkan kewajiban. Bertindak sesuai dengan kewajiban oleh Kant disebut legalitas. Dengan legalitas kita memenuhi norma hukum. Misalnya, tidak penting dengan motif apa saya membayar pajak, asal saja saya bayar jumlah uang yang sesuai dengan kewajiban saya. Tetapi dengan itu saya belum memenuhi norma moral. Saya baru baru memasuki taraf moralitas, jika saya melakukan perbuatan semata-semata karena kewajiban. Kata Kant, suatu perbuatan bersifat moral, jika dilakukan semata-mata “karena hormat untuk hukumnmoral”. Dengan hukum moral dimaksudkannya kewajiban.
Terkenal juga pembedaan yang diajukan Kant antara imperatif kategoris dan imperatif hipotetis. Kewajiban moral mengandung suatu imperatif kategoris, artinya imperative (perintah) yang mewajibkan begitu saja tanpa syarat. Sebaliknya, imperatif hipotetis selalu diikutsertakan sebuah syarat. Bentuknya adalah: “kalau engkau ingin mencapai suatu tujuan, maka engkau harus menghendaki juga sarana-sarana yang menuju ke tujuan tersebut”. Jika kita ingin lulus untuk ujian misalnya kita harus belajar dengan tekun. Tapi sarana iyu (belajar) hanya mewajibkan kita sejauh kita ingin mencapai tujuan (lulus). Belum tentu kita semua mempunyai tujuab itu. Bisa saja, saya hanya terdaftar sebagai mahasiswa untuk mengisi waktu, untuk dapat menikmati berbagai fasilitas, atau untuk bisa ikut dalam pertandingan olah raga mahasiswa sedunia, bukan untuk menyelesailan studi di suatu fakultas. Kalau saya tidak mempunyai tujuan itu (lulus), saya juga tidak wajib menghendaki sarananya (belajar). Di sini kewajibannya hanya hipotesis ( kalau…, maka), bertentangan dengan imperatif kategoris yang mmengikat kita tanpa syarat apa pun. Bentuk imperatif terakhir ini adalah: “Engkau harus begitu saja?” (Du sollst). Imperatif kategoris ini menjiwai semua peraturan etis. Misalnya, janji harus ditepati (senang atau tidak senang) barang yang dipinjam harus dikembalikan (juga bila pemiliknya sudah lupa). Di bidang moral, tingkah laku manusia hanya dibimbing oleh norma yang mewajibkan begtu saja, bukan oleh pertimbangan lain.
Langkah berikut dalam pemikiran moral Kant ini adalah menyimpulkan otonomi kehendak. Kalau hukum moral harus dipahami sebagai imperatif kategoris, maka dalam bartindak secara moral kehendak harus otonom dan bukan heteronom. Kehendak bersifat otonom bila menentukan dirinya sendiri, sedangkan kehendak heteronom membiarkan diri ditentukan oleh faktor dari luar dirinya seperti kecenderungan atau emosi. Menurut Kant, kehendak itu otonom dengan memberikan hukum moral kepada dirinya sendiri.

Tinjauan kritis
Kita memang sering merasa terikat dengan kewajiban dalam prilaku moral kita, sehingga tidak bisa disangkal bahwa kewajiban merupakan aspek penting dalam hidup moral kita. Tapi ada juga kritik untuk teorinya yaitu:
a.       Sistem moral Kant merupakan suatu etika yang suram dan kaku.
b.      Sulit juga untuk diterima bahwa konsekuensi bisa diabaikan saja dalam menilai moralitas perbuatan kita.
2.      Pandangan W.D. Ross
Ross mengatakan bahwa kewajiban untuk mengatakan kebenaran merupakan kewajiban prima facie (pada pandangan pertama) yang berlaku sampai ada kewajiban yang lebih panting. Ross menyusun sebuah daftar kewajiban yang semuanya merupakan kewajiban prima facie:
1)      Kewajiban kesetiaan: kita harus menepati janji yang diadakan dengan bebas.
2)      Kewajiban ganti rugi: kita harus melunasi utang moril dan materiil.
3)      Kewajiban terima kasih: kita harus berterima kasih kepada orang yang berbuat baik terhadap kita.
4)      Kewajiban keadilan: kita harus membagikan hal-hal yang menyenangkan sesuai dengan jasa orang-orang bersangkutan.
5)      Kewajiban berbuat baik: kita harus membantu orang lain yang membutuhkan kita.
6)      Kewajiban mengembangkan dirinya: kita harus mengembangkan dan meningkatkan bakat kita di bidang keutamaan, inteligensi, dan sebagainya.
7)      Kewajiban untuk tidak merugikan: kita tidak boleh melakukan sesuatu yang merugikan orang lain (satu-satunya kewajiban yang dirumuskan Ross dalam bentuk negatif)

BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Menurut kaum hedonis yang baik adalah: apa yang memuaskan keinginan kita, yang meningkatkan kuantitas kesenangan dan kenikmatan kita. Menurut Aristoteles, dalam tiap aktivitasnya, manusia mengejar tujuan. Tujuan akhir, tertinggi dari manusia dalah kebahagiaan (eudaimonia). Menurut Jeremy Bentham (1748-1832 M) manusia berada pada dua “penguasa”: ketidaksenangan dan kesenangan. Manusia cenderung menjauhi ketidaksenangan dan mencari kesenangan. Menurut Immanuel Kant (1724-1804), filosof besar etika deontologis. Menurutnya, yang baik adalah kehendak baik itu sendiri. suatu kehendak menjadi baik sebab bertindak karena kewajiban.
Setelah mempelajari beberapa sistem etika yang penting dalam sejarah filsafat, dapat disimpulkan bahwa tidak ada satu sistem pun yang paling baik. Di samping segi-segi yang menarik, setiap sistem ada kelemahan juga.

DAFTAR PUSTAKA

K. Bertens. 2001. Etika. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

0 komentar:

Posting Komentar