Subscribe:

Selasa, 29 April 2014

MENJADI MANUSIA YANG BAIK



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Di era perkembangan zaman yang ipteknya semakin maju pesat ini, kita harus tetap mengedepankan hal-hal mengenai pengembangan etika, moral, dan akhlak. Yang mana kita harus dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang benar dan mana yang salah. Sebab semua itu dapat mempengaruhi bagaimana pribadi kita dan bagaimana cara pandang kita terhadap zaman yang telah didominasi oleh perkembangan iptek yang semakin merajalela tersebut.
Penalaran etika, moral, dan akhlak tersebut semata-mata diwujudkan sebaik mungkin bukan hanya untuk kebaikan diri sendiri, namun juga dapat menjadi tolak ukur kita dalam menanggapi setiap masalah-masalah yang muncul di lingkungan kita sesuai dengan karakter  pola pikir yang sehat, logis, dan analistis. Supaya kita dapat menempatkan diri kita sesuai dengan situasi dan kondisi sekitar. Sehingga kita nanti diharapkan menjadi insan (kholifah/tauladan) yang baik secara etika, moral, dan akhlak bagi seluruh makhluk di alam semesta ini.

B.     Rumusan Masalah
  1. Apa yang dimaksud dengan etika kewajiban dan etika keutamaan?
  2. Mengapa etika kewajiban dan etika keutamaan saling membutuhkan satu sama lain?
  3. Apa itu keutamaan?
  4. Jelaskan unsur- unsur utama yang terkandung dalam konsep “keutamaan”?
  5. Apa yang dimaksud dengan ethos?
  6. Bagaimana tiga kategori perbuatan moral yang biasanya dibedakan dalam teori- teori etika?
  7. Apa yang dimaksud “orang kudus” dan “pahlawan”, kalau dipandang dari sudut etis belaka?

C.    Tujuan Masalah
  1. Untuk mengetahui yang dimaksud dengan etika kewajiban dan etika keutamaan.
  2. Untuk mengetahui mengapa etika kewajiban dan etika keutamaan saling membutuhkan satu sama lain.
  3. Untuk mengetahui apa itu keutamaan.
  4. Untuk mengetahui unsur- unsur utama yang terkandung dalam konsep “keutamaan”.
  5. Untuk mengetahui yang dimaksud dengan ethos.
  6. Untuk mengetahui tiga kategori perbuatan moral yang biasanya dibedakan dalam teori- teori etika.
  7. Untuk mengetahui yang dimaksud “orang kudus” dan “pahlawan”, kalau dipandang dari sudut etis belaka.
BAB II
PEMBAHASAN


A.     Etika Kewajiban Dan Etika Keutamaan
Dalam penilaian etis pada taraf popular dapat dibedakan dua macam pendekatan. Kita biasa terutama memandang perbuatan dan mengatakan bahwa perbuatan itu baik atau buruk, adil atau tidak adil, jujur atau tidak jujur. Disini kita seolah- olah “mengukur” , suatau perbuatan dengan norma atau prinsip moral. Jika perbuatan itu sesuai dengan prinsip bersangkutan, kita menyebutkan baik, adil, jujur dan sebagainya; jika tidak sesuai, kita menyebutnya buruk, tidak adil, tidak jujur dan sebagainya.
Ada cara penilaian etis lain yang tidak begitu memandang perbuatan, melainkan justru keadaan pelaku itu sendiri. Kita menyatakan bahwa seseorang adalah orang baik, adil, jujur, dan sebagainya atau sebaliknya, seperti seseorang tersebut adalah orang jahat, tidak adil, tidak jujur, dan sebagainya. Misalnya kita menyatakan bahwa orang tertenty tidak dapat dipercaya karna ia tidak jujur. Disini  kita menunjuk bukan kepada prinsip atau norma, melainkan sifat watak atau akhlak yang dimiliki orang tersebut atau justru tidak dimilikinya. Kita berbicara tentang bobot moral (baik buruknya) orang iu sendiri dan bukan tentang bobot moral salah satu perbuatannya.
Dua pendekatan moral yang sudah dapat ditemukan dalam hidup sehari- hari dalam tradisi pemikiran filsafat moral tampak sebagai dua tipe teori etika yang berbeda:

1)      Etika kewajiban
Etika kewajiban mempelajari prinsip- prinsip dan aturan- aturan moral yang berlaku untuk perbuatan kita. Etika ini menumjukkan norma- norma dan prinsip- prinsip mana yang perlu diterapkan dalam hidup moral kita. Jika terjadi konflik antara dua prinsip moral yang tidak dapat dipenuhi sekaligus, etika ini mencoba menentukan yang mana harus diberi prioritas. Pendekatannya, etika kewajiban menilai benar salahnya kelakuan kita dengn berpegang pada norma dan prinsip- prinsip moral saja.

2)      Etika keutamaan
Etika keutamaan memiliki orientasi yang lain. Etika ini tidak begitu menyoroti perbuatan satu demi satu, apakah sesuai atau tidak dengan  norma moral, tetapi lebih memfokuskan manusia itu sendiri. Etika ini mempelajari keutamaan (virtue), artinya sifat watak yang dimiliki manusia. Etika keutamaan tidak menyelidiki apakah perbuatan kita baik atau buruk, melainkan apakah kita sendiri orang baik atau buruk.
Etika keutamaan mengarahkan fokus perhatiannya pada being manusia, sedangkan etika kewajiban menekankan doing manusia. Ketika keutamaan ingin menjawab pertanyaan “saya harus menjadi orang yang bagaimana?”, sedangkan bagi etika kewajiban pertanyaan pokoknya adalah “saya harus melakuakan apa?”.Bagaimana sebaikanya hubungan antara etika kewajiban dan etika keutamaan? menurut hemat kami, disini tidak ada dilemma. Kita tidak menghadapi pilihan antara etika kewajiban dan etiaka keutamaan, moralitas selalu berkaiatan dengan prinsip serta aturan dan serentak juga dengan kualitas manusia itu sendiri, dengan sifat- sifat wataknya. Menurut pandangan Frankena bahwa etika kewajiban dan etika keutamaan melengkapi satu sama lain. Etika kewajiban membutuhkan etika keutamaan dan sebaliknya. Di bidang moral, usaha untuk mengikuti prinsip dan atauran tertentu kurang efesien, kalau tidak di ikut sertai suatau sikap tetap manusia untuk hidup menurut prinsip adan atauran moral itu.
Masih ada alasan lain mengapa etika kewajiban membutuhkan etika keutamaan. jika kita mentaati prinsip dan norma moral kita belum tentu menjadi manusia yang sungguh- sungguh baik secara moral. Berpegang pada norma moral memang merupakan syarat bagi prilaku yang baik, akan tetapi membatasi pada norma saja belum cukup untuk dapat disebut seorang yang baik dalam arti sepenuhnya. Dengan kata lain seseorang perlu memiliki keutamaan, misalnya pohon yang baik dengna sendirinya akan menghasikan buah yang baik. Etika keutamaan langsung bertujuan membuat manusia menjadi pohon yang baik, sehingga tidak bias lain perbuatannya akan baik juga.
Disisi lain etika keutamaan membutuhkan juga etika kewajiban. Etika keutamaan saja adalah buta jika tidak dipimpin oleh norma dan prinsip. Benci menjadi salah satu sifat watak sehingga mudah membawa orang ke perbuatan seperti membunuh atau merugikan orang lain. Keadilan sebagai sifat watak membawa kita ke suatau keadaan dimana kita memperlakuakan orang lain secara adil umpamanya membayar gaji yang pantas kepada karyawan. Bagaimana kita tahu yang satu adalah buruk dan yang lainnya adalh baik? Tentu karna kita berpegang pada norma. Kita dapat membedakan dua sifat watak karena kita menerima sebagai norma moral “jangan membunuh orang yang tidak bersalah” dan ”kita harus memperlakuakan orang lain dengan adil”. Jadi prinsip moral dan dan keutamaan moral tidak terlepas satu sama lain.

B.     Keutamaan dan Watak Moral
Keutamaan adalah disposisi watak yang telah di peroleh seseorang dan memungkinkan dia untuk bertingkah laku baik secara moral. Kemurahan hati, misalnya, merupakan suatu keutamaan yang membuat seseorang membagi harta bendanya dengan orang lain yang membutuhkan. Mari kita memandang lebih rinci beberapa unsure dalam penjelasan tersebut.
a.    Keutamaan adalah suatu disposisi, artinya suatu kecenderungan tetap. Itu tidak berarti bahwa keutamaan tidak bias hilang, tapi hal itu tidak mudah terjadi. Keutamaan adalah sifat watak yang ditandai stabilitas. Keutamaan adalah sifat baik yang mendarah daging pada seseorang, tapi bukan sembarang sifat baik adalah keutamaan juga. Jadi keutamaan mempunyai hubungan yang eksklusif dengan moral dan keutamaan sama saja dengan keutamaan moral.
b.    Keutamaan berkaitan dengan kehendak. Keutamaan adalah disposisi yang membuat kehendak tetap cenderung ke arah yang tertentu. Kerendahan hati, misalnya menempatkan kemauan saya kearah yang tertentu yaitu tidak menonjolkan diri dalam semua situasi yang dihadapi.
c.    Keutaman diperoleh melalui jalan membiasakan diri dan karena itu merupakan hasil latihan. Keutamaan tidak dimiliki manusia sejak lahir. Pada masa anak seorang manusia belum berkeutamaan. Ini sesuai dengan data- data psikologi perkembangan yang memperlihatkan bahwa pada awal mula anak belum mempunyai kesadaran moral (J. Piaget dan L. Kohlberg). Keutamaan terbentuk selama sutau proses pembiasaan dan latihan yang cukup panjang, dimana pendidikan ikut brperan penting. Proses pemerolehan keutamaan itu disertai suatu upaya korektif, artinya keutamaan diperoleh dengan mengoreksi suatu sifat awal yang tidak baik. 
d.   Keutamaan juga dibedakan juga dari keterampilan. Memang seperti halnya dengan keutamaan, keterampilan pun diperoleh melalui latihan, lagi pula berciri korektif. Seperti sifat non – moral membantu memperoleh keutamaan, demikian pula bakat alamiah mempermudah membentuk keterampilan. Tapi disamping persamaan ini, ada perbedaan yang lebih menentukan. Kita bias menyebutkan empat macam perbedaan, yakni;
(1)      Keterampilan hanya memungkinkan orang untuk melakukan jenis perbuatan yang tertentu, sedangkan keutamaan tidak terbatas pada satu jenis perbuatan saja. Eorang pemain piano, pemain bulu tangkis, penembak jitu atau pilot pesawat terbang semua memiliki keterampilan yang memungkinkan mereka untuk melakukan perbuatan tertentu. Seorang yang berhasil menjadi juara bulu tangkis tentu hebat sekali dibidangnya, tetapi tidak sanggup seperti orang lain, jika di suruh menembak jitu atau mengemudikan pesawat terbang. Tetapi orang yang memiliki keberanian, kemurahan hati, kesabaran atau keutamaan apa saja tidak pernah terarah kepada jenis perbuatan tertentu saja.
(2)      Baik keterampilan maupaun keutamaan berciri korektif: keduanya membantu untuk mengatasi suatu kesulitan awal. Tapi disini ada perbedaan juga. Dalam hal keterampilan, kesulitan itu bersifat teknis. Jika sudah diperoleh ketangkasan, kesulitan teknis itu teratasi. Dalam hal keutamaan, kesulitan itu berkaitan dengan kehendak. Jika menghadapi bahaya, kita cenderung melarikan diri. Dengan memperoleh keberanian, kehendak kita mempunyai kesanggupan mengatasi ketakuatan itu.
(3)      Perbedaan berikut berhubungan erat dengan yang tadi. Karena sifat teknis, keterampilan dapat diperoleh dengan setelah ada bakat tertentu membaca buku petunjuk, mengikuti kursus, dan melatih diri. Sedangkan proses memperoleh keutamaan jauh lebih kompleks, sama kompleksnya dengan seluruh proses pendidikan.
(4)      Suatau perbedaan terakhir sudah disebut oleh Aristoteles (384- 322 s.M.) dan Thomas Aquinas (1225- 1274). Perbeddaan ini berkaitan dengan membuat kesalahan. Jika orangmemiliki keterampilan, membuat kesalahan, ia tidak akan kehilangan keterampilannya, seandainya ia membuat kesalahan itu dengan senngaja. Sedangka membuat kesalahan itu dengan disengaja, justru mengakibatkan ia klaim untuk menyebut diri orang berketerampilan.
e.    Semuanya yang dikatakan tentang keutamaan ini berlaku juga untuk lawannya. Dalam bahasa Inggris keutamaan disebut virtue ( Latin: virtus) dan utuk lawannya diguanakan istilah vice (Latin: vitium). Dalam bahasa Indonesia bias kita menggunakan kata “keburukan”. Sebagai lawan keutamaan, keburukan puan adalah disposisi watak yang diperoleh seseorang dan memungkinkan dia bertingkah laku secara moral. Suatu perbedaan ialah bahwa keburukan tidak diperoleh dengan “melawan arus”, sebaliknya, keburukan terbentuk dengan mengikuti “arus” spontan. Tetapi perbedaan yang menentukan adalah bahwa keutamaan membuat orang bertingkah laku baik secara moral, sedangkan keburukan membuat orang bertingkah laku buruk secara moral.
Dalam analisia tentang keutamaan yang baru saja diadaka, dudah disebut cukup banyak contoh konkret mengenai keutamaan. sebagaian dari keutamaan- keutamaan itu begitu erat kaitannya dengan hakikat manusia, sehingga akan menandai manusia di segala zaman. Pada umumnya dapat dikatan bahwa disamping keutamaan yang berlaku untuk segala zaman  dan tempat banyak keutamaan terikat pada zaman historis atau kebudayaan tertentu karana itu bias berubah kedudukannya akibat perubahan zaman atau kebudayaan.
Menurut W. K. Frankena, ada dua keutamaan pokok, yaitu kebaikan hati (benevolence) dan keadilan. Dalam hal ini pandangan filsuf Jerman Arthur Schopenhauer (1788- 1860). Menurut pandangannya yang mempunyai pandangan yang memiliki tradisi sudah lama ada empat keutamaan pokok: kebijakan, keberanian, pengendalian diri,  dan keadilan. Thomas Aquinas menambah tiga keutamaan lagi yang disebut keutamaan teologis: iman, kepercayaan, penghargaan, dan cinta kasih. Sehingga sejak itu keutamaan dalam kalangan Kristen tercipta tradisi untuk membedakan tujuh keutamaan pokok: empat yang bersifat manusiawi biasa dan tiga yang bersifat teologis.

C.     Keutamaan dan Ethos
Keutamaan membuat manusia menjadi baik secara pribadi. Orang yang berkeutamaan itu sendiri adalah baik, bukan anak- anaknya, orang tuanya atau orang lain lagi, kecuali bila mereka sendiri memiliki keutamaan juga. Keutamaan slalu merupakan suatu cirri individual. Namun demikian sejalan dengan keutamaan yang bersifat pribadi itu terdapat juga suatu karaktristik yang membuat kelompok menjadi baik dalam arti moral justru sebagai kelompok, yakni ethos.
“Ethos” adalah salah satu kata yunani kuno yang masuk ke dalam bahasa modern  persis dalam bentuk seperti dipakai oleh bahasa aslinya dulu ada karena itu sebaiknya ditulis juga menurut ejaan aslinya. Kata ini merupakan asal- usul bagi kata seperti etika etis dalam bahasa modern, “ethos” menunjukan cirri- cirri, pandangan, yang menandai suatu kelompok. Dalam arti ini sering kita dengar tentang ethos kerja, ethos profesi dan sebagainya. Disini ethos menunjuk pada suasana khas yang meliputi kerja atau profesi. Dan perlu ditekankan lagi bahwa suasana ini dipahami dalam arti baik secara moral. Yang dimaksudkan jika berbicara tentang ethos profesi, tentulah hal terpuji.
Sering kita dengar tentang ethos profesi kedokteran. Ethos dalam arti ini adalah nilai- nilai luhur dan sifat- sifat yang terkandung dalam profesi medis. Pada umumnya dapat dikatakan bahwa ethos suatu profesi sebagian besar tercemin dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia, dam miliki kaitan yang erat dengan kaitannya erat dengan Sumpah Kedokteran.
D.    Orang Kudus dan Pahlawan
Dalam rangka mempelajari mutu moral perbuatan- perbuatan manusia, teori- teori etika biasanya membedakan tiga kategori perbuatan. Pertama, ada perbuatan yang merupakan kewajiban begitu saja dan harus dilakuakan. Kita harus mengatakan yang benar, kita harus menghormati privacy seseorang, dan seterusnya. Kita menjadi baik secara moral, jika melakukan perbuatan tersebut. Kedua, ada perbuatan yang dilarang secara moral dan tidak boleh dilakukan. Kita tidak boleh berbohong, mengingkari janji, membunuh sesama manusia, dan seterusnya. Kita menjadi buruk secara moral bila melakukan perbuatan jenis ini. Ketiga, ada perbutan yang dapat diijinkan dari sudut moral, dalam arti tidak dilarang dan tidak diwajibkan. Perbuatan terakhir ini adalah netral dari sudut moral atau bias disebut amoral. Katergori perbuatan yang ketiga ini dianggap sama luasnya dengan perbuatan yang tidak termasuk kategori yang pertama dan yang kedua. Dengan demikian kategorisasi perbuatab dari sudut pandang moral dianggap sudah selesai.
Masih ada perbbuatan jenis lain yang tidak kalah penting dalam pembentukan kualitas moral manusia, yaitu perbuatan yang melampaui kewajiban seseorang tapi dinilai sangat terpuji jika dilakukan, sedangkan tidak ada orang yang akan dicela jika tidak melakukannya. Dengan suatu istilah etika yang teknis perbuatan- perbuatan semacam itu disebut “super- erogatoris” (supererogatory acts), artinya perbuatan yang melakuakan lebih dari pada yang dituntut. Orang justru bias memilih kualitas moral sangat tinggi bahkan sampai dianggap kudus atau pahlawan karna perbuatan jenis tersebut.
Filsuf Inggeris J.O. Urmso menjelaskan kata- kata “kudus” dan “pahlawan” mempunyai arti etis juga. “kudus” terutama dipakai dalam konteks keagamaan. Dan agama menyebut seorang “kudus”, jelas serentak juga akan implikasi moral. Maksudnya adalah bahwa “kudus” dipakai juga dalam arti semata- mata etis, terlepas dari segala konotasi religious. Dan “pahlawan” sering kita katakana tanpa maksud moral apapun. Jika misalnya kepada juara bulu tangkis gelar “pahlawan dunia olah raga’. Tapi kadang kita sebut seseorang kudus atau pahlawan hanya untuk menilai dia dari segi moral. Dan hal ini ada hubungan erat antara dua kata “kudus” dan ”pahlawan”.
Ada tiga macam situasi dimana seseorang biasa disebut kudus atau pahlawan dalam arti eksklusif etis, yakni:
(1)   Ketika menyebut orang kudus, jika ia melakukan kewajiban dalam keadaan dimana kebanyakan orang tidak akan melakukan kewajiban mereka, karena terbawa oleh keinginan tak teratur atau kepentingan diri. Misalnya, orang tertentu selalu jujur, walaupun sering tergiur oleh kesempatan melakukan korupsi dengan mudah sekali. Setiap kali ia merasa tergoda oleh kesempatan seperti itu, namun ia selalu berhasil mengatasi godaan itu. Jadi ia disebut kudus, karena ia menjalankan kewajibannya atas dasar disiplin diri yang luar biasa. Sejalan dengan itu, kita menyebut seseorang pahlawan jika ia melakukan kewajibannya dalam keadaan dimana kebanyakan orang tidak akan melakukan kewajiban mereka , karena teripengaruhi oleh, ketakutan atau kecendrungan alamaih untuk mempertahankan hidupnya. Misalnya, seorang prajurit di medan perang tetap tinggal pada posnya dan tidak melarikan diri, walaupun menghadapi bahaya maut. Setiap kali ia menghadapi bahaya ia memang merasa cenderung melarikan diri, namun ia selalu bisa mengatasi godaan itu. Jadi ia disebut pahlawan, juga karena ia menjalankan kewajiban atas dasar disiplin diri luar biasa yang tidak banyak ditemukan pada kebanyakan orang.
(2)   Kita menyebut orang kudus , jika ia melakukan kewajiban dalam keadaan dimana kebanyakan orang tidak akan melakukannya, bukan karena disiplin diri yang luar biasa melainkan dengan muda dan tanpa usaha khusus. Dengan kata laen ia melakukan kewajiban karena keutamaan. godaan bagi dia sebenarnya bukan godaan lagi, karena ia sudah bias berlaku jujur, umpamanya. Begitu pula orang bias disebut pahlawan, jika melakukan dengan mengatasi ketakutan dalam keadaan dimana kebanyaan orang akan melarikan diri, bukan karena disiplin diri yang luar biasa, melainkan karena ia memiliki keutamaan keberanian. Ia telah memiliki disposisitetap untuk menghadapi bahaya dengan mudah dan tanpausaha khusus.
(3)   Dalam situasi yang ketiga ini berlangsung perbuatan- perbuatan moral yang terletak diluar kategorisasi dan situasi ketiga ini paling penting. Seseorang disebut kudus atau pahlawan, jika ia melakukan dari apa yang diwajibkan. Bahwa gelar “kudus” atau “pahlawan” terutama kita pakai sebagai gelar etis untuk menunjukan orangyang menurut pandangan umum melampaui batas- batas kewajibanya. Disini kita jumpai dengan orang kudus atau pahlawan dalam arti istimewa. Contohnya adalah doctor yang dengan sukarela pergi kedaerah yang dilanda oleh penyakit menular dan tidak mempedulikan kerugian bagi kesehatanya sendiri (bukan saja dokter yang tetap tinggal di tempat tugas setelah wabah mulai. Disini jelas tidk ada kewajiban, karena ia pergi sebagai sukarelawan. Perbuatan seperti itu tentu memiliki nilai moral yang besar sekali. Tentu perbuatan moral yang tinggi ini boleh di beri dua catatan lagi. Pertama, tidak dimaksudkan disini perbuatan- perbuatan yang dilakukan karena dorongan alamiah. Kedua, tidak jarang terjadi bahwa orang kudus atau pahlawan etis sesudah perbuatanya menegaskan “ saya hanya melakukan yang harus saya lakukan” atau saya hanya melakukan kewajiban saya”. Tapi tidak bias disangkal bahwa kata “harus” dan “kewajiban” disini dipakai dalam arti tidak sebenarnya. Bias saja, orang yang bersangkutan mengakui dengan rendah hati bahwa ia hanya melakukan kewajibannya. Dan barangkali ia sungguh- sungguh merasa bahwa bagi dia tidak ada pilihan lain daripada melakukan perbuatan tertentu dalam situasi konkrit. Barang kali ia mengalami suatu kewajiban subjektif yang diperintahkan oleh hati nurani. Bagaimanapun juga, apa yabg dilakukan orang kudus atau pahlawan itu tetap merupakan perbuatan super- erogatoris, perbuatan paling luhur dibidang moral.

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Etika adalah gambaran rasional mengenai hakekat dan dasar perbuatan dan keputusan yang benar serta prinsip-prinsip yang menentukan klaim bahwa perbuatan dan keputusan tersebut secara moral diperintahkan atau dilarang
Manusia berdasarkan perilakunya dapat dibagi menjadi tiga golongan. Bahwa ada manusia yang baik dari asalnya. Golongan ini tidak akan cenderung kepada kejahatan, meski bagaimanapun, golongan ini tidak akan berubah dan akan tetap akan cenderung baik. Golongan ini merupakan minoritas. Golongan yang memang jahat asalnya adalah mayoritas, sama sekali tidak akan cenderung kepada kebaikan. Di antara golongan tersebut ada golongan yang dapat beralih kepada kebaikan dan kejahatan, karena pendidikan dan pengaruh lingkungan.[28]
Dua pendekatan moral yang sudah dapat ditemukan dalam hidup sehari- hari dalam tradisi pemikiran filsafat moral tampak sebagai dua tipe teori etika yang berbeda yaitu teori etika keutamaan dan teori etika kewajiban

B.    Saran
Dalam kehidupan sehari- hari sebaiknya kita memahami dan mengaplikasikan 2 pendekatan etika yaitu etika keutamaan dan etika kewajiban, dimana kedua etika ini saling berhubungan dan saling melengkapi satu sama lain.
Seorang guru apabila ingin menjadi guru yang professional harusnya mendalami serta memiliki etika

DAFTAR PUSTAKA

Adji, Oemar Seno.1991. Etika Profesional Guru , Jakarta: Erlangga.
Bertens.k.(2004). Etika.Jakarta: Gramedia pustaka utama.
Johannsen, Richard L. 1996. Etika Komunikasi. Bandung: Remadja Rosdakarya.
Poedjawiyatna. 1996. Etika, Filsafat Tingkah Laku. Jakarta: Rineka Cipta.
Robinson, Dave dan Chris Garrat. 1994. Mengenal Etika – For Beginners. Bandung: Mizan
Ruslan, Rusady. 1994.Etika Menjadi Manusia yang Baik. Jakarta: Rajawali Pers.
Suseno, Frank Magnis. 1987.  Etika Dasar, Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral. Jakarta: Kanisius.



SISTEM FILSAFAT MORAL



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Penjelasan mengenai makna kehidupan dan bagaimana seharusnya kita menjalaninya merupakan masalah yang klasik, yang hingga sekarang susah untuk ditetapkan filsafat mana yang paling benar yang seharusnya kita anut. Para filsuf tersebut menggunakan sudut pandang yang berbeda sehingga menghasilkan filsafat yang berbeda pula. Dari beberapa banyak aliran filsafat, kami hanya membahas aliran filsafat hedonisme, eudemonisme, utilitarisme dan deontologi. Antara aliran atau paham yang satu dan yang lainnya ada yang saling bertentangan dan ada pula yang memiliki konsep dasar sama. Akan tetapi meskipun bertentangan, bukanlah untuk saling dipertentangkan. Justru dengan banyaknya aliran atau paham yang sudah diperkenalkan oleh tokoh-tokoh filsafat, kita dapat memilih cara yang pa­s dengan persoalan yang sedang kita hadapi.

B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas dapat dirumuskan beberapa masalah sebagai berikut:
1.      Bagaimana pandangan hedonisme sebagai teori etika?
2.      Bagaimana pandangan eudemonisme Aristoteles?
3.      Bagaimana pandangan utilitarisme?
4.      Bagaimana pandangan Immanuel Kant dalam teorinya yang disebut deontologi?
5.      Bagaimana koreksian yang diusulkan W.D. Ross terhadap Deontologi Kant?
 
C.    Tujuan
Berdasarkan latar belakang masalah di atas dapat dirumuskan beberapa tujuan sebagai berikut:
1.      Untuk mengetahui bagaimana pandangan hedonisme sebagai teori etika.
2.      Untuk mengetahui bagaimana pandangan eudemonisme Aristoteles.
3.      Untuk mengetahui bagaimana pandangan utilitarisme.
4.      Untuk mengetahui bagaimana pandangan Immanuel Kant dalam teorinya yang disebut deontologi.
5.      Untuk mengetahui bagaimana koreksian yang diusulkan W.D. Ross terhadap Deontologi Kant.

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Hedonisme
Atas pertanyaan “apa yang menjadi hal yang terbaik bagi manusia”, para hedonis menjawab: kesenangan (hêdonê dalam bahasa Yunani). Adalah baik apa yang memuaskan keinginan kita, apa yang meningkatkan kuantitas kesenangan atau kenikmatan dalam diri kita.
Dalam filsafat Yunani hedonisme sudah ditemukan pada Aristippos dari Kyrene (sekitar 433-355 s.M.), seorang murid Sokrates. Sokrates telah bertanya tentang tujuan terakhir bagi kehidupan manusia atau apa yang sungguh-sungguh baik bagi manusia. Aristippos menjawab: yang baik bagi manusia adalah kesenangan. Bagi Aristippos kesenangan itu bersifat badani belaka, karena hakikatnya tidak lain daripada gerak dalam badan. Mengenai gerak itu ia membedakan tiga kemungkinan: gerak yang kasar dan itulah ketidaksenangan, misalnya, rasa sakit; gerak yang halus dan itulah kesenangan; sedangkan tiadanya gerak merupakan suatu keadaan netral, misalnya, jika kita tidur. Aristippos menekankan lagi bahwa kesenangan harus dimengerti sebagai kesenangan aktual, bukan kesenangan dari masa lampau dan kesenangan di masa mendatang. Dapat disimpulkan dari pandangan Aristippos bahwa ia mengerti kesenangan sebagai badani, aktual dan individual. Aristippos pun mengakui perlunya pengendalian diri, sebagaimana sudah diajarkan oleh gurunya, Sokrates.
Filsuf Yunani lain yang melanjutkan hedonisme adalah Epikuros (341-270 s.M.), yang memimpin sebuah sekolah filsafat di Athena. Epikuros pun melihat kesenangan (hêdonê) sebagai tujuan kehidupan manusia. Epikuros mengakui adanya kesenangan yang melebihi tahap badani. Dalam sepucuk surat ia menulis: “Bila kami mempertahankan bahwa kesenangan adalah tujuannya, kami tidak maksudkan kesenangan inderawi, tapi kebebasan dari nyeri dalam tubuh kita dan kebebasan dari keresahan dalam jiwa” (Surat kepada Menoikeus). Menurut Epikuros kita harus memandang kehidupan sebagai keseluruhan termasuk juga masa lampau dan masa depan.
Biarpun pada dasarnya setiap kesenangan bisa dinilai baik, namun itu tidak berarti bahwa setiap kesenangan harus dimanfaatkan juga. Dalam hal ini pentinglah pembedaan yang diajukan Epikuros antara tiga macam keinginan: keinginan alamiah yang perlu (seperti makanan), keinginan alamiah yang tidak perlu (seperti makanan yang enak), dan keinginan yang sia-sia (seperti kekayaan).
Manusia akan mencapai ataraxia, ketenangan jiwa atau keadaan jiwa seimbang yang tidak membiarkan diri terganggu oleh hal-hal yang lain. Ataraxia begitu penting bagi Epikuros, sehingga ia menyebutnya juga tujuan kehidupan manusia (di samping kesenangan). Ataraxia berperanan bagi jiwa, seperti kesehatan bagi badan. Orang bijaksana yang memperoleh ketenangan jiwa itu akan berhasil mengusir segala macam ketakutan (untuk kematian, dewa-dewa dan suratan nasib), menjauhkan diri dari kehidupan politik dan menikmati pergaulan dengan sahabat-sahabat.

Tinjauan Kritis
a.   Dalam hedonisme terkandung kebenaran yang mendalam: manusia menurut kodratnya mencari kesenangan dan  berupaya menghindari ketidaksenangan. Sigmund Freud memperlihatkan bahwa kecenderungan manusia itu bahkan terdapat pada taraf tak sadar. Tidak bisa disangkal, keinginan akan kesenangan merupakan suatu dorongan yang sangat mendasar dalam hidup manusia. Tapi disini perlu dikemukakan sebuah catatan kritis yang pertama. Apakah manusia selalu mencari kesenangan? Apakah manusia menurut kodratnya mencari kesenangan dalam arti bahwa ia tidak lagi manusia (tapi malaikat atau apa...), jika ia tidak mencari kesenangan? Apakah tidak mungkin juga manusia yang membaktikan seluruh hidupnya demi kebaikan orang lain, dengan niat murni dan tanpa pamrih? Tentu saja para hedonis selalu  bisa mengatakan bahwa mencari kesenangan adalah motivasi terakhir. Para hedonis bisa menegaskan bahwa membantu orang lain selalu juga menyenangkan, karena “lebih baik memberi daripada menerima”.
b.   Kritik lebih berat lagi adalah bahwa dalam argumentasi hedonisme terdapat loncatan yang tidak dipertanggungjawabkan. Dari anggapan bahwa kodrat manusia adalah mencari kesenangan (yang menurut hemat kami dapat dipertanyakan lagi), ia sampai pada menyetarafkan kesenangan dengan moralitas yang baik. Secara logis hedonisme harus membatasi diri pada suatu etika deskriptif saja (pada kenyataannya kebanyakan manusia membiarkan tingkah lakunya dituntun oleh kesenangan), dan tidak boleh merumuskan suatu etika normatif (yang baik secara moral adalah mencari kesenangan). ada yang memperoleh kesenangan dengan menyiksa atau malah membunuh orang lain, yaitu mereka yang disebut kaum sadis. Para hedonis tidak bisa menyingkirkan kenyataan itu dengan menandaskan: tapi perbuatan seperti itu akan dihukum dan karena itu akan disertai ketidaksenangan. Sebab, banyak perbuatan jahat tidak diketahui dan akibatnya tidak dihukum. Karena itu kesenangan saja tidak cukup untuk menjamin sifat etis suatu perbuatan.
c.   Para hedonis mempunyai konsepsi yang salah tentang kesenangan. Mereka berpikir bahwa sesuatu adalah baik, karena disenangi. Sebenarnya kesenangan adalah pantulan subyektif dari sesuatu yang obyektif. Sesuatu tidak menjadi baik karena disenangi, tapi sebaliknya kita merasa senang karena memperoleh atau memiliki sesuatu yang baik.
d.   Hedonisme mengandung suatu egoisme, karena hanya memperhatikan kepentingan dirinya saja. Yang dimaksudkan dengan egoisme disini adalah egoisme etis atau egoisme yang mengatakan bahwa saya tidak mempunyai kewajiban moral membuat sesuatu yang lain daripada yang terbaik bagi diri saya sendiri. Egoisme etis mempunyai prinsip: saya duluan, orang lain belakangan saja. Egoisme etis harus ditolak karena bertentangan dengan prinsip persamaan: semua manusia harus diperlakukan dengan cara sama, selama tidak ada alasan untuk perlakuan yang berbeda.

Penutup
Filsuf Inggris, John Locke (1632-1704), menandaskan: “kita sebut baik apa yang menyebabkan atau meningkatkan kesenangan; sebaliknya, kita namakan jahat apa yang dapat mengakibatkan ketidaksenangan apa saja atau mengurangi kesenangan apa saja dalam diri kita”. Tapi dalam bentuk modernnya sifat individualistis dan egoistis dari hedonisme Yunani kuno telah ditinggalkan. Hedonisme yang menjiwai pemikiran modern itu mengakui dimensi sosial sebagai faktor yang tidak bisa disingkirkan.
Dalam dunia modern sekarang ini rupanya hedonisme masih hadir dalam bentuk yang lain. Hedonisme merupakan “etika implisit” yang—mungkin tanpa disadari—dianut oleh banyak individu dewasa ini.
B.     Eudemonisme
Eudemonisme merupakan salah satu filsafat moral selain hedonisme dan yang lainnya. Eudemonisme berasal dari kata “ Eudaimonia” yang berarti kebahagiaan. Pandangan ini berasal dari filsuf Yunani besar, Aristoteles (384-322 s.M). Dalam bukunya, Ethika Nikomakheia, ia mulai dengan menegaskan bahwa dalam setiap kegiatannya manusia mengejar suatu tujuan. Bisa dikatakan juga, dalam setiap perbuatan kita ingin mencapai sesuatu yang baik bagi kita. Sering kali mencari suatu tujuan untuk mencapai suatu tujuan lain lagi. Misalnya, kita minum obat untuk bisa tidur dan kita tidur untuk dapat memulihkan kesehatan. Menurut Aristoteles, semua orang akan menyetujui bahwa tujuan tertinggi dalam terminologi modern kita bisa mengatakan: makna terakhir hidup manusia adalah kebahagiaan (eudaimonia).
Menurut Aristoteles, seseorang mencapai tujuan terakhir dengan menjalankan fungsinya dengan baik. Tujuan terakhir pemain suling adalah main dengan baik. Tujuan terakhir tukang sepatu adalah membikin sepatu yang baik. Nah, jika manusia menjalankan fungsinya sebagai manusia dengan baik, ia juga mencapai tujuan terakhirnya atau kebahagiaan. Keunggulan dan kekhasan manusia  ada pada akalnya (rasio). Karena itu, untuk mencapai kebahagiaannya, seseorang harus menjalankan fungsi-fungsi rasio dengan melakukan kegiatan rasional. Kegiatan-kegiatan rasional itu disertai keutamaaan. Bagi Aristoteles ada dua macam keutamaan : keutamaan intelektual dan keutamaan moral. Keutamaan intelektual menyempurnakan langsung rasio itu sendiri. Dengan keutamaan-keutamaan moral ini dibahas Aristoteles dengan panjang lebar. Keutamaan seperti keberanian dan kemurahan hati merupakan pilihan yang dilaksanakan oleh rasio. Dalam hal ini rasio menentukan jalan tengah antara dua ekstrem yang berlawanan. Atau dengan kata lain, keutamaan adalah keseimbangan antara “kurang “ dan “terlalu banyak”. Misalnya, keberanian adalah keutamaan yang memilih jalan tengah antara sikap gegabah dan sikap pengecut; kemurahan hati adalah keutamaan yang mencari jalan tengah antara kekikiran dan pemborosan. Keutamaan yang menentukan jalan tengah itu oleh Aristoteles di sebut phronesis (kebijaksanaan praktis). Phronesis menentukan apa yang bisa dianggap sebagai keutamaan dalam suatu situasi konkret. Karena itu keutamaan ini merupakan inti seluruh kehidupan moral.
Sekali lagi perlu ditekankan bahwa tidaklah cukup kita kebetulan atau satu kali saja mengadakan pilihan rasional yang tepat dalam perbuatan kita sehari-hari. Baru ada keutamaan jika kita bisa menentukan jalan tengah di antara ekstrem-ekstrem itu dengan suatu sikap tetap. Menurut Aristoteles, manusia adalah baik dalam arti moral, jika selalu mengadakan pilihan-pilihan rasional yang tepat dalam perbuatan-perbuatan moralnya dan mencapai keunggulan dalam penalaran intelektual. Orang seperti itu adalah bahagia. Kebahagiaan itu akan disertai kesenangan juga, walaupun kesenangan tidak merupakan inti yang sebenarnya dari kebahagiaan.

Tinjauan kritis
a.       Memang benar, pemikiran tentang keutamaan adalah bagian paling menarik dalam etikanya. Tapi ajarannya mempunyai kelemahan juga. Salah satu kelemahan adalah bahwa daftar keutamaan yang disebut olehnya tidak merupakan hasil pemikiran Aristoteles saja tapi mencerminkan pandangan etis dari masyarakat Yunani pada waktu itu dan lebih khusus lagi mencerminkan golongan atas dalam masyarakat Athena tempat Aristoteles hidup. Dan ternyata tidak bisa diharapkan juga ia akan menyajikan daftar keutamaan yang berlaku selalu dan dimana-mana. Pasti ada sejumlah keutamaan yang berlaku agak umum. Tapi di samping itu setiap kebudayaan dan setiap periode sejarah akan memiliki keutamaan-keutamaan sendiri, yang belum tentu sama dalam kebudayaan atau periode sejarah lain. Kerendahan hati, misalnya, merupakan keutamaan yang berasal dari tradisi lain dan belum bisa diharapkan dalam pembahasan Aristoteles. Suka bekerja keras merupakan contoh lain tentang keutamaan yang tidak mungkin ditemukan pada Aristoteles. Malah ia memandang rendah pekerjaan fisik, sesuai dengan pandangan Yunani pada waktu itu.
b.      Keberatan lain menyangkut pemikiran Aristoteles tentang keutamaan sebagai jalan tengah antara dua ekstrem. Aristoteles menjelaskan hal itu dengan sebuah analisis bagus dan tajam tentang keberanian, misalnya. Tapi soalnya adalah apakah keutamaan selalu merupakan jalan tengah antara “kurang’ dan “terlalu banyak”. Aristoteles sendiri mengalami kesulitan dengan keutamaan seperti pengendalian diri. Perbuatan seperti makan terlalu banyak, jelas bertentangan dengan keutamaan pengendalian diri. Tapi jika orang makan kurang daripada apa yang dianggap perlu , apakah perbuatannya melanggar keutamaan itu juga ? rupanya sulit mengatakan demikian. Perbuatan seperti berpuasa justru dianggap suatu perbuatan terpuji dan pelaksanaan keutamaan pengendalian diri. Aristoteles sendiri mengakui bahwa praktis tidak ada manusia yang tak acuh terhadap makanan, sehingga segi “kurang” di sini sulit ditunjukkan.
c.       Tadi sudah dijelaskan bahwa pemikiran Aristoteles diwarnai suasana eliter karena terutama mencerminkan golongan atas dalam mesyarakat Yunani waktu itu. Bisa ditambah lagi bahwa pada Aristoteles kita sama sekali belum melihat paham hak manusia, apalagi persamaan hak semua manusia. Malah ia membenarkan secara rasional lembaga perbudakan, karena ia berpendapat bahwa beberapa manusia menurut kodratnya adalah budak. Suatu pandangan menurut orang modern justru tidak etis. Tapi keberatan ini tidak perlu terlalu ditekankan, karena kita tidak bisa mengeritik seseorang karena dia anak dari zamannya. Kita tidak bisa menghukum filsuf Yunani kuno ini, karena belum termasuk zaman modern.
d.      Etika Aristoteles dan khususnya ajarannya tentang keutamaan tidak begitu berguna untuk memecahkan dilema-dilema moral besar yang kita hadapi sekarang ini. Pemikirannya tidak membantu banyak dalam mencari jalan keluar bagi masalah-masalah moral penting di zaman kita, seperti misalnya risiko penggunaan tenaga nuklir, reproduksi artificial, percobaan medis dengan embrio dan sebagainya. Disini kita membutuhkan pertimbangan–pertimbangan yang dapat dipertanggungjawabkan. Pandangan Aristoteles tentang keutamaan lebih cocok untuk menilai kadar moral seseorang berdasarkan perbuatan-perbuatannya, termasuk juga hidup moralnya sebagai keseluruhan.
C.    Utilitarisme
1.      Utilitarisme klasik
Aliran ini berasal dari tradisi pemikiran moral di Unuted Kingdom dan kemudian berpengaruh keseluruh kawasan yang berbahasa inggris. Filsuf Skotlandia, david Hume (1711-1776), sudah memberi sumbangan penting ke arah perkembangan aliran ini, tapi utilitarisme menurut lebih matang berasal dari filsuf inggris jeremy Bentham (1748-1832), dengan bukunya introduction to the principles of morals and legislation (1789). Ultilistarisme dimaksudnya sebagai dasar etis untuk memperbarui hkum inggris. Khususnya hukum pidana. Jadi, ia tidak ingin menciptakan suatu teori moral abstark, tetapi mempunyai maksud sangat konkrit. Ia nerpendapat bahwa tujuan hukum adalah memajukan kepentingan warga negara bukan melaksanakan perintah-perintah ilahi atau melindungi yang disebut hak-hak kodrati. Karna itu ia beranggapan bahwa klasifikasi kejahatan, umpamanya dalam sistem hukum inggris sudah ketinggalan zaman dan harus di ganti.
Betham mulai menekankan bahwa umat manusia menurut kodratnya ditempatkan dibawah pemerintahan dua penguasa yang berdaulat (ketidaksenagan dan kesenangan). Kebahagian tercapai, jika ia memiliki kesenangan dan bebas dari kesusahan. Dalam hal ini betham sebenarnya melanjutkan begitu saja hedonisme klasik.
Karena menurut kodratnya tingkah laku manusia terarah pada kebahagian, maka suatu perbutan dapat dinilai baik atau buruk, sejauh dapat meningkatkan atau mengurangi kebahagian sebanyak mungkin orang. Dalam hal ini betham meninggalkan hedonisme individualistis dan egoistis dengan menekankan bahwa kebahagian itu menyangkut seluruh umat manusia. Menureut Betham, prinsip kegunaan itu harus diterapkan secara kuantitatif. Karena kualitas kesenagan selalu sama, satu-satunya aspeknya yang bisa berbeda adalah kulitasnya.
Ultilitarisme diperluas dan diperkukuh lagi oleh filsufi inggris, Jhon Stuart Milln (1806-18730). Dalam bukunya ia mengeritik pandangan Betham bahwa kesenangan dan kebahagian harus diukur secara kuantitatif. Ia berpendapat bahwa kualitasnya perlu ditimbangkan juga, karena ada kesengan yang lebih tinggi mutunya dan ada yang lebih rendah.
Pikran Mill yang kedua adalah bahwa kebahagian yang menjadi norma etis adalah kebahagian semua orang terlibat dalam suatu kejadian, bukan kebahagian satu orang saja.

Tinjauan kritis
Salah satu kekuatan utilitarisme adalah bahwa mereka menggunakan sebuah prinsip jelas dan rasional. Akan tetapi, utilitarisme juga mempunyai beberapa kelemahan yaitu:
a.       Prinsip kegunaan bahwa suatu perbuatan adalah baik jika menghasilkan kebahagiaan terbesar untuk jumlah orang terbesar, tidak selamanya benar.
b.      Kebahagiaan lain lagi adalah bahwa prinsip kegunaan tidak memberi jaminan apa pun bahwa kebahagiaan dibagi juga dengan adil.
2.      Utilitarisme Aturan
Suatu percobaan yang menarik untuk mengatasi kritikan berat yang dikemukakan terhadap ultilitarisme adalah membedakan antara dua macam ultilitarisme. Ultilitarisme perbuatan dan ultilitarisme aturan. Hal itu dikemukakan oleh filsuf inggris-amerika Stephen Toulmin, menegaskan bahwa prinsip kegunaan tidak harus diterapkan atas salah satu perbuatan, melainkan atas aturan-aturan moral yang mengatur perbuatan-perbuatan kita.
Filsuf Richard B. Brandt melangkah lebih jauh lagi dengan mengusulkan agar bukan aturan moral satu demi satu, melainkan sistem aturan moral sebagai keseluruhan diuji dengan prinsip kegunaan.
Utilitarisme aturan ini merupakan sebuah varian yang menarik dari utilitarisme. Perlu diakui bahwa dengan demikian kita bisa lolos dari banyak kesulitan yang melekat pada utilitarisme perbuatan. Utilitarisme  aturan ini timbul jika terjadi konflik antara dua aturan moral.
D.    Deontologi
Deontologi berasal dari bahasa Yunani deon yang berarti apa yang harus dilakukan; kewajiban)
1.      Deontologi Menurut I. Kant
Yang menciptakan system moral ini adalah filsuf besar dari Jerman, Immanuel Kant (1724-1804). Menurut Kant, yang bisa disebut baik dalam arti sesungguhnya hanyalah kehendak yang baik. Semua hal lain disebut baik secara terbatas atau dengan syarat. Kesehatan, kekayaan, atau intelegensi, misalnya, adalah baik jika digunakan dengan baik oleh kehendak manusia. Tapi jika dipakai oleh kehendak yang jahat semua hal itu bisa menjadi jelek sekali. Bahkan keutamaan-keutamaan bisa disalahgunakan oleh kehendak yang jahat.
Menurut Kant kehendak menjadi baik, jika bertindak karena kewajiban. Kalau perbuatan dilakukan dengan suatu maksud atau motif lain, perbuatan itu tidak bisa disebut baik, betapapun luhur atau terpuji motif itu. Misalnya, kalau perbuatan dilakukan karena kecenderungan atau watak, perbuatan itu secara moral tidak baik. Mungkin sifat watak saya demikian, sehingga saya selalu senang membantu orang lain. Bagi Kant, perbuatan-perbuatan yang berasal dari kecenderungan macam itu tidak bisa disebut baik, tapi dari sudut moral bersifat netral saja. Atau mungkin saya member derma kepada pengemis, karena hati saya tergerak oleh keadaannya yang menyedihkan. Atau mungkin saya mengembalikan buku yang saya pinjam dari perpustakaan,karena takut akan terkena denda, bila terlambat dikembalikan. Semua perbuatan itu tidak patu disebut baik. Perbuatan adalah baik jika hanya dilakukan karena wajib dilakukan. Jadi, belum cukup jika suatu perbuatan sesuai dengan kewajiban. Seharusnya perbuatan dilakukan berdasarkan kewajiban. Bertindak sesuai dengan kewajiban oleh Kant disebut legalitas. Dengan legalitas kita memenuhi norma hukum. Misalnya, tidak penting dengan motif apa saya membayar pajak, asal saja saya bayar jumlah uang yang sesuai dengan kewajiban saya. Tetapi dengan itu saya belum memenuhi norma moral. Saya baru baru memasuki taraf moralitas, jika saya melakukan perbuatan semata-semata karena kewajiban. Kata Kant, suatu perbuatan bersifat moral, jika dilakukan semata-mata “karena hormat untuk hukumnmoral”. Dengan hukum moral dimaksudkannya kewajiban.
Terkenal juga pembedaan yang diajukan Kant antara imperatif kategoris dan imperatif hipotetis. Kewajiban moral mengandung suatu imperatif kategoris, artinya imperative (perintah) yang mewajibkan begitu saja tanpa syarat. Sebaliknya, imperatif hipotetis selalu diikutsertakan sebuah syarat. Bentuknya adalah: “kalau engkau ingin mencapai suatu tujuan, maka engkau harus menghendaki juga sarana-sarana yang menuju ke tujuan tersebut”. Jika kita ingin lulus untuk ujian misalnya kita harus belajar dengan tekun. Tapi sarana iyu (belajar) hanya mewajibkan kita sejauh kita ingin mencapai tujuan (lulus). Belum tentu kita semua mempunyai tujuab itu. Bisa saja, saya hanya terdaftar sebagai mahasiswa untuk mengisi waktu, untuk dapat menikmati berbagai fasilitas, atau untuk bisa ikut dalam pertandingan olah raga mahasiswa sedunia, bukan untuk menyelesailan studi di suatu fakultas. Kalau saya tidak mempunyai tujuan itu (lulus), saya juga tidak wajib menghendaki sarananya (belajar). Di sini kewajibannya hanya hipotesis ( kalau…, maka), bertentangan dengan imperatif kategoris yang mmengikat kita tanpa syarat apa pun. Bentuk imperatif terakhir ini adalah: “Engkau harus begitu saja?” (Du sollst). Imperatif kategoris ini menjiwai semua peraturan etis. Misalnya, janji harus ditepati (senang atau tidak senang) barang yang dipinjam harus dikembalikan (juga bila pemiliknya sudah lupa). Di bidang moral, tingkah laku manusia hanya dibimbing oleh norma yang mewajibkan begtu saja, bukan oleh pertimbangan lain.
Langkah berikut dalam pemikiran moral Kant ini adalah menyimpulkan otonomi kehendak. Kalau hukum moral harus dipahami sebagai imperatif kategoris, maka dalam bartindak secara moral kehendak harus otonom dan bukan heteronom. Kehendak bersifat otonom bila menentukan dirinya sendiri, sedangkan kehendak heteronom membiarkan diri ditentukan oleh faktor dari luar dirinya seperti kecenderungan atau emosi. Menurut Kant, kehendak itu otonom dengan memberikan hukum moral kepada dirinya sendiri.

Tinjauan kritis
Kita memang sering merasa terikat dengan kewajiban dalam prilaku moral kita, sehingga tidak bisa disangkal bahwa kewajiban merupakan aspek penting dalam hidup moral kita. Tapi ada juga kritik untuk teorinya yaitu:
a.       Sistem moral Kant merupakan suatu etika yang suram dan kaku.
b.      Sulit juga untuk diterima bahwa konsekuensi bisa diabaikan saja dalam menilai moralitas perbuatan kita.
2.      Pandangan W.D. Ross
Ross mengatakan bahwa kewajiban untuk mengatakan kebenaran merupakan kewajiban prima facie (pada pandangan pertama) yang berlaku sampai ada kewajiban yang lebih panting. Ross menyusun sebuah daftar kewajiban yang semuanya merupakan kewajiban prima facie:
1)      Kewajiban kesetiaan: kita harus menepati janji yang diadakan dengan bebas.
2)      Kewajiban ganti rugi: kita harus melunasi utang moril dan materiil.
3)      Kewajiban terima kasih: kita harus berterima kasih kepada orang yang berbuat baik terhadap kita.
4)      Kewajiban keadilan: kita harus membagikan hal-hal yang menyenangkan sesuai dengan jasa orang-orang bersangkutan.
5)      Kewajiban berbuat baik: kita harus membantu orang lain yang membutuhkan kita.
6)      Kewajiban mengembangkan dirinya: kita harus mengembangkan dan meningkatkan bakat kita di bidang keutamaan, inteligensi, dan sebagainya.
7)      Kewajiban untuk tidak merugikan: kita tidak boleh melakukan sesuatu yang merugikan orang lain (satu-satunya kewajiban yang dirumuskan Ross dalam bentuk negatif)

BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Menurut kaum hedonis yang baik adalah: apa yang memuaskan keinginan kita, yang meningkatkan kuantitas kesenangan dan kenikmatan kita. Menurut Aristoteles, dalam tiap aktivitasnya, manusia mengejar tujuan. Tujuan akhir, tertinggi dari manusia dalah kebahagiaan (eudaimonia). Menurut Jeremy Bentham (1748-1832 M) manusia berada pada dua “penguasa”: ketidaksenangan dan kesenangan. Manusia cenderung menjauhi ketidaksenangan dan mencari kesenangan. Menurut Immanuel Kant (1724-1804), filosof besar etika deontologis. Menurutnya, yang baik adalah kehendak baik itu sendiri. suatu kehendak menjadi baik sebab bertindak karena kewajiban.
Setelah mempelajari beberapa sistem etika yang penting dalam sejarah filsafat, dapat disimpulkan bahwa tidak ada satu sistem pun yang paling baik. Di samping segi-segi yang menarik, setiap sistem ada kelemahan juga.

DAFTAR PUSTAKA

K. Bertens. 2001. Etika. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.