Subscribe:

Selasa, 29 April 2014

MENJADI MANUSIA YANG BAIK



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Di era perkembangan zaman yang ipteknya semakin maju pesat ini, kita harus tetap mengedepankan hal-hal mengenai pengembangan etika, moral, dan akhlak. Yang mana kita harus dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang benar dan mana yang salah. Sebab semua itu dapat mempengaruhi bagaimana pribadi kita dan bagaimana cara pandang kita terhadap zaman yang telah didominasi oleh perkembangan iptek yang semakin merajalela tersebut.
Penalaran etika, moral, dan akhlak tersebut semata-mata diwujudkan sebaik mungkin bukan hanya untuk kebaikan diri sendiri, namun juga dapat menjadi tolak ukur kita dalam menanggapi setiap masalah-masalah yang muncul di lingkungan kita sesuai dengan karakter  pola pikir yang sehat, logis, dan analistis. Supaya kita dapat menempatkan diri kita sesuai dengan situasi dan kondisi sekitar. Sehingga kita nanti diharapkan menjadi insan (kholifah/tauladan) yang baik secara etika, moral, dan akhlak bagi seluruh makhluk di alam semesta ini.

B.     Rumusan Masalah
  1. Apa yang dimaksud dengan etika kewajiban dan etika keutamaan?
  2. Mengapa etika kewajiban dan etika keutamaan saling membutuhkan satu sama lain?
  3. Apa itu keutamaan?
  4. Jelaskan unsur- unsur utama yang terkandung dalam konsep “keutamaan”?
  5. Apa yang dimaksud dengan ethos?
  6. Bagaimana tiga kategori perbuatan moral yang biasanya dibedakan dalam teori- teori etika?
  7. Apa yang dimaksud “orang kudus” dan “pahlawan”, kalau dipandang dari sudut etis belaka?

C.    Tujuan Masalah
  1. Untuk mengetahui yang dimaksud dengan etika kewajiban dan etika keutamaan.
  2. Untuk mengetahui mengapa etika kewajiban dan etika keutamaan saling membutuhkan satu sama lain.
  3. Untuk mengetahui apa itu keutamaan.
  4. Untuk mengetahui unsur- unsur utama yang terkandung dalam konsep “keutamaan”.
  5. Untuk mengetahui yang dimaksud dengan ethos.
  6. Untuk mengetahui tiga kategori perbuatan moral yang biasanya dibedakan dalam teori- teori etika.
  7. Untuk mengetahui yang dimaksud “orang kudus” dan “pahlawan”, kalau dipandang dari sudut etis belaka.
BAB II
PEMBAHASAN


A.     Etika Kewajiban Dan Etika Keutamaan
Dalam penilaian etis pada taraf popular dapat dibedakan dua macam pendekatan. Kita biasa terutama memandang perbuatan dan mengatakan bahwa perbuatan itu baik atau buruk, adil atau tidak adil, jujur atau tidak jujur. Disini kita seolah- olah “mengukur” , suatau perbuatan dengan norma atau prinsip moral. Jika perbuatan itu sesuai dengan prinsip bersangkutan, kita menyebutkan baik, adil, jujur dan sebagainya; jika tidak sesuai, kita menyebutnya buruk, tidak adil, tidak jujur dan sebagainya.
Ada cara penilaian etis lain yang tidak begitu memandang perbuatan, melainkan justru keadaan pelaku itu sendiri. Kita menyatakan bahwa seseorang adalah orang baik, adil, jujur, dan sebagainya atau sebaliknya, seperti seseorang tersebut adalah orang jahat, tidak adil, tidak jujur, dan sebagainya. Misalnya kita menyatakan bahwa orang tertenty tidak dapat dipercaya karna ia tidak jujur. Disini  kita menunjuk bukan kepada prinsip atau norma, melainkan sifat watak atau akhlak yang dimiliki orang tersebut atau justru tidak dimilikinya. Kita berbicara tentang bobot moral (baik buruknya) orang iu sendiri dan bukan tentang bobot moral salah satu perbuatannya.
Dua pendekatan moral yang sudah dapat ditemukan dalam hidup sehari- hari dalam tradisi pemikiran filsafat moral tampak sebagai dua tipe teori etika yang berbeda:

1)      Etika kewajiban
Etika kewajiban mempelajari prinsip- prinsip dan aturan- aturan moral yang berlaku untuk perbuatan kita. Etika ini menumjukkan norma- norma dan prinsip- prinsip mana yang perlu diterapkan dalam hidup moral kita. Jika terjadi konflik antara dua prinsip moral yang tidak dapat dipenuhi sekaligus, etika ini mencoba menentukan yang mana harus diberi prioritas. Pendekatannya, etika kewajiban menilai benar salahnya kelakuan kita dengn berpegang pada norma dan prinsip- prinsip moral saja.

2)      Etika keutamaan
Etika keutamaan memiliki orientasi yang lain. Etika ini tidak begitu menyoroti perbuatan satu demi satu, apakah sesuai atau tidak dengan  norma moral, tetapi lebih memfokuskan manusia itu sendiri. Etika ini mempelajari keutamaan (virtue), artinya sifat watak yang dimiliki manusia. Etika keutamaan tidak menyelidiki apakah perbuatan kita baik atau buruk, melainkan apakah kita sendiri orang baik atau buruk.
Etika keutamaan mengarahkan fokus perhatiannya pada being manusia, sedangkan etika kewajiban menekankan doing manusia. Ketika keutamaan ingin menjawab pertanyaan “saya harus menjadi orang yang bagaimana?”, sedangkan bagi etika kewajiban pertanyaan pokoknya adalah “saya harus melakuakan apa?”.Bagaimana sebaikanya hubungan antara etika kewajiban dan etika keutamaan? menurut hemat kami, disini tidak ada dilemma. Kita tidak menghadapi pilihan antara etika kewajiban dan etiaka keutamaan, moralitas selalu berkaiatan dengan prinsip serta aturan dan serentak juga dengan kualitas manusia itu sendiri, dengan sifat- sifat wataknya. Menurut pandangan Frankena bahwa etika kewajiban dan etika keutamaan melengkapi satu sama lain. Etika kewajiban membutuhkan etika keutamaan dan sebaliknya. Di bidang moral, usaha untuk mengikuti prinsip dan atauran tertentu kurang efesien, kalau tidak di ikut sertai suatau sikap tetap manusia untuk hidup menurut prinsip adan atauran moral itu.
Masih ada alasan lain mengapa etika kewajiban membutuhkan etika keutamaan. jika kita mentaati prinsip dan norma moral kita belum tentu menjadi manusia yang sungguh- sungguh baik secara moral. Berpegang pada norma moral memang merupakan syarat bagi prilaku yang baik, akan tetapi membatasi pada norma saja belum cukup untuk dapat disebut seorang yang baik dalam arti sepenuhnya. Dengan kata lain seseorang perlu memiliki keutamaan, misalnya pohon yang baik dengna sendirinya akan menghasikan buah yang baik. Etika keutamaan langsung bertujuan membuat manusia menjadi pohon yang baik, sehingga tidak bias lain perbuatannya akan baik juga.
Disisi lain etika keutamaan membutuhkan juga etika kewajiban. Etika keutamaan saja adalah buta jika tidak dipimpin oleh norma dan prinsip. Benci menjadi salah satu sifat watak sehingga mudah membawa orang ke perbuatan seperti membunuh atau merugikan orang lain. Keadilan sebagai sifat watak membawa kita ke suatau keadaan dimana kita memperlakuakan orang lain secara adil umpamanya membayar gaji yang pantas kepada karyawan. Bagaimana kita tahu yang satu adalah buruk dan yang lainnya adalh baik? Tentu karna kita berpegang pada norma. Kita dapat membedakan dua sifat watak karena kita menerima sebagai norma moral “jangan membunuh orang yang tidak bersalah” dan ”kita harus memperlakuakan orang lain dengan adil”. Jadi prinsip moral dan dan keutamaan moral tidak terlepas satu sama lain.

B.     Keutamaan dan Watak Moral
Keutamaan adalah disposisi watak yang telah di peroleh seseorang dan memungkinkan dia untuk bertingkah laku baik secara moral. Kemurahan hati, misalnya, merupakan suatu keutamaan yang membuat seseorang membagi harta bendanya dengan orang lain yang membutuhkan. Mari kita memandang lebih rinci beberapa unsure dalam penjelasan tersebut.
a.    Keutamaan adalah suatu disposisi, artinya suatu kecenderungan tetap. Itu tidak berarti bahwa keutamaan tidak bias hilang, tapi hal itu tidak mudah terjadi. Keutamaan adalah sifat watak yang ditandai stabilitas. Keutamaan adalah sifat baik yang mendarah daging pada seseorang, tapi bukan sembarang sifat baik adalah keutamaan juga. Jadi keutamaan mempunyai hubungan yang eksklusif dengan moral dan keutamaan sama saja dengan keutamaan moral.
b.    Keutamaan berkaitan dengan kehendak. Keutamaan adalah disposisi yang membuat kehendak tetap cenderung ke arah yang tertentu. Kerendahan hati, misalnya menempatkan kemauan saya kearah yang tertentu yaitu tidak menonjolkan diri dalam semua situasi yang dihadapi.
c.    Keutaman diperoleh melalui jalan membiasakan diri dan karena itu merupakan hasil latihan. Keutamaan tidak dimiliki manusia sejak lahir. Pada masa anak seorang manusia belum berkeutamaan. Ini sesuai dengan data- data psikologi perkembangan yang memperlihatkan bahwa pada awal mula anak belum mempunyai kesadaran moral (J. Piaget dan L. Kohlberg). Keutamaan terbentuk selama sutau proses pembiasaan dan latihan yang cukup panjang, dimana pendidikan ikut brperan penting. Proses pemerolehan keutamaan itu disertai suatu upaya korektif, artinya keutamaan diperoleh dengan mengoreksi suatu sifat awal yang tidak baik. 
d.   Keutamaan juga dibedakan juga dari keterampilan. Memang seperti halnya dengan keutamaan, keterampilan pun diperoleh melalui latihan, lagi pula berciri korektif. Seperti sifat non – moral membantu memperoleh keutamaan, demikian pula bakat alamiah mempermudah membentuk keterampilan. Tapi disamping persamaan ini, ada perbedaan yang lebih menentukan. Kita bias menyebutkan empat macam perbedaan, yakni;
(1)      Keterampilan hanya memungkinkan orang untuk melakukan jenis perbuatan yang tertentu, sedangkan keutamaan tidak terbatas pada satu jenis perbuatan saja. Eorang pemain piano, pemain bulu tangkis, penembak jitu atau pilot pesawat terbang semua memiliki keterampilan yang memungkinkan mereka untuk melakukan perbuatan tertentu. Seorang yang berhasil menjadi juara bulu tangkis tentu hebat sekali dibidangnya, tetapi tidak sanggup seperti orang lain, jika di suruh menembak jitu atau mengemudikan pesawat terbang. Tetapi orang yang memiliki keberanian, kemurahan hati, kesabaran atau keutamaan apa saja tidak pernah terarah kepada jenis perbuatan tertentu saja.
(2)      Baik keterampilan maupaun keutamaan berciri korektif: keduanya membantu untuk mengatasi suatu kesulitan awal. Tapi disini ada perbedaan juga. Dalam hal keterampilan, kesulitan itu bersifat teknis. Jika sudah diperoleh ketangkasan, kesulitan teknis itu teratasi. Dalam hal keutamaan, kesulitan itu berkaitan dengan kehendak. Jika menghadapi bahaya, kita cenderung melarikan diri. Dengan memperoleh keberanian, kehendak kita mempunyai kesanggupan mengatasi ketakuatan itu.
(3)      Perbedaan berikut berhubungan erat dengan yang tadi. Karena sifat teknis, keterampilan dapat diperoleh dengan setelah ada bakat tertentu membaca buku petunjuk, mengikuti kursus, dan melatih diri. Sedangkan proses memperoleh keutamaan jauh lebih kompleks, sama kompleksnya dengan seluruh proses pendidikan.
(4)      Suatau perbedaan terakhir sudah disebut oleh Aristoteles (384- 322 s.M.) dan Thomas Aquinas (1225- 1274). Perbeddaan ini berkaitan dengan membuat kesalahan. Jika orangmemiliki keterampilan, membuat kesalahan, ia tidak akan kehilangan keterampilannya, seandainya ia membuat kesalahan itu dengan senngaja. Sedangka membuat kesalahan itu dengan disengaja, justru mengakibatkan ia klaim untuk menyebut diri orang berketerampilan.
e.    Semuanya yang dikatakan tentang keutamaan ini berlaku juga untuk lawannya. Dalam bahasa Inggris keutamaan disebut virtue ( Latin: virtus) dan utuk lawannya diguanakan istilah vice (Latin: vitium). Dalam bahasa Indonesia bias kita menggunakan kata “keburukan”. Sebagai lawan keutamaan, keburukan puan adalah disposisi watak yang diperoleh seseorang dan memungkinkan dia bertingkah laku secara moral. Suatu perbedaan ialah bahwa keburukan tidak diperoleh dengan “melawan arus”, sebaliknya, keburukan terbentuk dengan mengikuti “arus” spontan. Tetapi perbedaan yang menentukan adalah bahwa keutamaan membuat orang bertingkah laku baik secara moral, sedangkan keburukan membuat orang bertingkah laku buruk secara moral.
Dalam analisia tentang keutamaan yang baru saja diadaka, dudah disebut cukup banyak contoh konkret mengenai keutamaan. sebagaian dari keutamaan- keutamaan itu begitu erat kaitannya dengan hakikat manusia, sehingga akan menandai manusia di segala zaman. Pada umumnya dapat dikatan bahwa disamping keutamaan yang berlaku untuk segala zaman  dan tempat banyak keutamaan terikat pada zaman historis atau kebudayaan tertentu karana itu bias berubah kedudukannya akibat perubahan zaman atau kebudayaan.
Menurut W. K. Frankena, ada dua keutamaan pokok, yaitu kebaikan hati (benevolence) dan keadilan. Dalam hal ini pandangan filsuf Jerman Arthur Schopenhauer (1788- 1860). Menurut pandangannya yang mempunyai pandangan yang memiliki tradisi sudah lama ada empat keutamaan pokok: kebijakan, keberanian, pengendalian diri,  dan keadilan. Thomas Aquinas menambah tiga keutamaan lagi yang disebut keutamaan teologis: iman, kepercayaan, penghargaan, dan cinta kasih. Sehingga sejak itu keutamaan dalam kalangan Kristen tercipta tradisi untuk membedakan tujuh keutamaan pokok: empat yang bersifat manusiawi biasa dan tiga yang bersifat teologis.

C.     Keutamaan dan Ethos
Keutamaan membuat manusia menjadi baik secara pribadi. Orang yang berkeutamaan itu sendiri adalah baik, bukan anak- anaknya, orang tuanya atau orang lain lagi, kecuali bila mereka sendiri memiliki keutamaan juga. Keutamaan slalu merupakan suatu cirri individual. Namun demikian sejalan dengan keutamaan yang bersifat pribadi itu terdapat juga suatu karaktristik yang membuat kelompok menjadi baik dalam arti moral justru sebagai kelompok, yakni ethos.
“Ethos” adalah salah satu kata yunani kuno yang masuk ke dalam bahasa modern  persis dalam bentuk seperti dipakai oleh bahasa aslinya dulu ada karena itu sebaiknya ditulis juga menurut ejaan aslinya. Kata ini merupakan asal- usul bagi kata seperti etika etis dalam bahasa modern, “ethos” menunjukan cirri- cirri, pandangan, yang menandai suatu kelompok. Dalam arti ini sering kita dengar tentang ethos kerja, ethos profesi dan sebagainya. Disini ethos menunjuk pada suasana khas yang meliputi kerja atau profesi. Dan perlu ditekankan lagi bahwa suasana ini dipahami dalam arti baik secara moral. Yang dimaksudkan jika berbicara tentang ethos profesi, tentulah hal terpuji.
Sering kita dengar tentang ethos profesi kedokteran. Ethos dalam arti ini adalah nilai- nilai luhur dan sifat- sifat yang terkandung dalam profesi medis. Pada umumnya dapat dikatakan bahwa ethos suatu profesi sebagian besar tercemin dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia, dam miliki kaitan yang erat dengan kaitannya erat dengan Sumpah Kedokteran.
D.    Orang Kudus dan Pahlawan
Dalam rangka mempelajari mutu moral perbuatan- perbuatan manusia, teori- teori etika biasanya membedakan tiga kategori perbuatan. Pertama, ada perbuatan yang merupakan kewajiban begitu saja dan harus dilakuakan. Kita harus mengatakan yang benar, kita harus menghormati privacy seseorang, dan seterusnya. Kita menjadi baik secara moral, jika melakukan perbuatan tersebut. Kedua, ada perbuatan yang dilarang secara moral dan tidak boleh dilakukan. Kita tidak boleh berbohong, mengingkari janji, membunuh sesama manusia, dan seterusnya. Kita menjadi buruk secara moral bila melakukan perbuatan jenis ini. Ketiga, ada perbutan yang dapat diijinkan dari sudut moral, dalam arti tidak dilarang dan tidak diwajibkan. Perbuatan terakhir ini adalah netral dari sudut moral atau bias disebut amoral. Katergori perbuatan yang ketiga ini dianggap sama luasnya dengan perbuatan yang tidak termasuk kategori yang pertama dan yang kedua. Dengan demikian kategorisasi perbuatab dari sudut pandang moral dianggap sudah selesai.
Masih ada perbbuatan jenis lain yang tidak kalah penting dalam pembentukan kualitas moral manusia, yaitu perbuatan yang melampaui kewajiban seseorang tapi dinilai sangat terpuji jika dilakukan, sedangkan tidak ada orang yang akan dicela jika tidak melakukannya. Dengan suatu istilah etika yang teknis perbuatan- perbuatan semacam itu disebut “super- erogatoris” (supererogatory acts), artinya perbuatan yang melakuakan lebih dari pada yang dituntut. Orang justru bias memilih kualitas moral sangat tinggi bahkan sampai dianggap kudus atau pahlawan karna perbuatan jenis tersebut.
Filsuf Inggeris J.O. Urmso menjelaskan kata- kata “kudus” dan “pahlawan” mempunyai arti etis juga. “kudus” terutama dipakai dalam konteks keagamaan. Dan agama menyebut seorang “kudus”, jelas serentak juga akan implikasi moral. Maksudnya adalah bahwa “kudus” dipakai juga dalam arti semata- mata etis, terlepas dari segala konotasi religious. Dan “pahlawan” sering kita katakana tanpa maksud moral apapun. Jika misalnya kepada juara bulu tangkis gelar “pahlawan dunia olah raga’. Tapi kadang kita sebut seseorang kudus atau pahlawan hanya untuk menilai dia dari segi moral. Dan hal ini ada hubungan erat antara dua kata “kudus” dan ”pahlawan”.
Ada tiga macam situasi dimana seseorang biasa disebut kudus atau pahlawan dalam arti eksklusif etis, yakni:
(1)   Ketika menyebut orang kudus, jika ia melakukan kewajiban dalam keadaan dimana kebanyakan orang tidak akan melakukan kewajiban mereka, karena terbawa oleh keinginan tak teratur atau kepentingan diri. Misalnya, orang tertentu selalu jujur, walaupun sering tergiur oleh kesempatan melakukan korupsi dengan mudah sekali. Setiap kali ia merasa tergoda oleh kesempatan seperti itu, namun ia selalu berhasil mengatasi godaan itu. Jadi ia disebut kudus, karena ia menjalankan kewajibannya atas dasar disiplin diri yang luar biasa. Sejalan dengan itu, kita menyebut seseorang pahlawan jika ia melakukan kewajibannya dalam keadaan dimana kebanyakan orang tidak akan melakukan kewajiban mereka , karena teripengaruhi oleh, ketakutan atau kecendrungan alamaih untuk mempertahankan hidupnya. Misalnya, seorang prajurit di medan perang tetap tinggal pada posnya dan tidak melarikan diri, walaupun menghadapi bahaya maut. Setiap kali ia menghadapi bahaya ia memang merasa cenderung melarikan diri, namun ia selalu bisa mengatasi godaan itu. Jadi ia disebut pahlawan, juga karena ia menjalankan kewajiban atas dasar disiplin diri luar biasa yang tidak banyak ditemukan pada kebanyakan orang.
(2)   Kita menyebut orang kudus , jika ia melakukan kewajiban dalam keadaan dimana kebanyakan orang tidak akan melakukannya, bukan karena disiplin diri yang luar biasa melainkan dengan muda dan tanpa usaha khusus. Dengan kata laen ia melakukan kewajiban karena keutamaan. godaan bagi dia sebenarnya bukan godaan lagi, karena ia sudah bias berlaku jujur, umpamanya. Begitu pula orang bias disebut pahlawan, jika melakukan dengan mengatasi ketakutan dalam keadaan dimana kebanyaan orang akan melarikan diri, bukan karena disiplin diri yang luar biasa, melainkan karena ia memiliki keutamaan keberanian. Ia telah memiliki disposisitetap untuk menghadapi bahaya dengan mudah dan tanpausaha khusus.
(3)   Dalam situasi yang ketiga ini berlangsung perbuatan- perbuatan moral yang terletak diluar kategorisasi dan situasi ketiga ini paling penting. Seseorang disebut kudus atau pahlawan, jika ia melakukan dari apa yang diwajibkan. Bahwa gelar “kudus” atau “pahlawan” terutama kita pakai sebagai gelar etis untuk menunjukan orangyang menurut pandangan umum melampaui batas- batas kewajibanya. Disini kita jumpai dengan orang kudus atau pahlawan dalam arti istimewa. Contohnya adalah doctor yang dengan sukarela pergi kedaerah yang dilanda oleh penyakit menular dan tidak mempedulikan kerugian bagi kesehatanya sendiri (bukan saja dokter yang tetap tinggal di tempat tugas setelah wabah mulai. Disini jelas tidk ada kewajiban, karena ia pergi sebagai sukarelawan. Perbuatan seperti itu tentu memiliki nilai moral yang besar sekali. Tentu perbuatan moral yang tinggi ini boleh di beri dua catatan lagi. Pertama, tidak dimaksudkan disini perbuatan- perbuatan yang dilakukan karena dorongan alamiah. Kedua, tidak jarang terjadi bahwa orang kudus atau pahlawan etis sesudah perbuatanya menegaskan “ saya hanya melakukan yang harus saya lakukan” atau saya hanya melakukan kewajiban saya”. Tapi tidak bias disangkal bahwa kata “harus” dan “kewajiban” disini dipakai dalam arti tidak sebenarnya. Bias saja, orang yang bersangkutan mengakui dengan rendah hati bahwa ia hanya melakukan kewajibannya. Dan barangkali ia sungguh- sungguh merasa bahwa bagi dia tidak ada pilihan lain daripada melakukan perbuatan tertentu dalam situasi konkrit. Barang kali ia mengalami suatu kewajiban subjektif yang diperintahkan oleh hati nurani. Bagaimanapun juga, apa yabg dilakukan orang kudus atau pahlawan itu tetap merupakan perbuatan super- erogatoris, perbuatan paling luhur dibidang moral.

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Etika adalah gambaran rasional mengenai hakekat dan dasar perbuatan dan keputusan yang benar serta prinsip-prinsip yang menentukan klaim bahwa perbuatan dan keputusan tersebut secara moral diperintahkan atau dilarang
Manusia berdasarkan perilakunya dapat dibagi menjadi tiga golongan. Bahwa ada manusia yang baik dari asalnya. Golongan ini tidak akan cenderung kepada kejahatan, meski bagaimanapun, golongan ini tidak akan berubah dan akan tetap akan cenderung baik. Golongan ini merupakan minoritas. Golongan yang memang jahat asalnya adalah mayoritas, sama sekali tidak akan cenderung kepada kebaikan. Di antara golongan tersebut ada golongan yang dapat beralih kepada kebaikan dan kejahatan, karena pendidikan dan pengaruh lingkungan.[28]
Dua pendekatan moral yang sudah dapat ditemukan dalam hidup sehari- hari dalam tradisi pemikiran filsafat moral tampak sebagai dua tipe teori etika yang berbeda yaitu teori etika keutamaan dan teori etika kewajiban

B.    Saran
Dalam kehidupan sehari- hari sebaiknya kita memahami dan mengaplikasikan 2 pendekatan etika yaitu etika keutamaan dan etika kewajiban, dimana kedua etika ini saling berhubungan dan saling melengkapi satu sama lain.
Seorang guru apabila ingin menjadi guru yang professional harusnya mendalami serta memiliki etika

DAFTAR PUSTAKA

Adji, Oemar Seno.1991. Etika Profesional Guru , Jakarta: Erlangga.
Bertens.k.(2004). Etika.Jakarta: Gramedia pustaka utama.
Johannsen, Richard L. 1996. Etika Komunikasi. Bandung: Remadja Rosdakarya.
Poedjawiyatna. 1996. Etika, Filsafat Tingkah Laku. Jakarta: Rineka Cipta.
Robinson, Dave dan Chris Garrat. 1994. Mengenal Etika – For Beginners. Bandung: Mizan
Ruslan, Rusady. 1994.Etika Menjadi Manusia yang Baik. Jakarta: Rajawali Pers.
Suseno, Frank Magnis. 1987.  Etika Dasar, Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral. Jakarta: Kanisius.



0 komentar:

Posting Komentar